Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menyatakan penurunan harga gas untuk industri akan memberikan efek berganda (multiplier effect) yang berdampak positif pada perekonomian nasional.
Itu karena penurunan harga gas ini dinilai membantu pertumbuhan industri, yang pada ujungnya akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan penghematan devisa.
"Kami mengusulkan penurunan harga gas untuk industri dan menambah sektor industri yang mendapatkan penetapan harga gas tertentu. Ini sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing industri nasional," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (16/8/2016).
Menurut dia, selama ini penggunaan gas di sektor industri berkontribusi cukup signifikan terhadap struktur biaya produksi. Dengan demikian jika harga gas untuk industri bisa diturunkan, maka secara otomatis biaya produksi dapat ditekan.
Advertisement
Baca Juga
Selama ini para pelaku industri berharap dapat memperoleh harga yang kompetitif. Hal ini mengacu pada harga gas dari negara lain terutama di ASEAN sehingga mampu bersaing di pasar dalam negeri dan global.
“Harga gas yang diinginkan sektor industri berdasarkan nilai keekonomian seyogyanya sekitar US$ 3-US$ 4 per per million metric british thermal unit (MMBtu),” kata dia.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), rata-rata harga gas untuk sektor industri masih tinggi yaitu sebesar US$ 9,5 per MMBtu. Sebagai contoh, industri pupuk dan industri petrokimia dikenakan harga gas sebesar US$ 6,28-US$ 16,7 per MMBtu.
Sementara di sektor tersebut, gas merupakan komponen utama dalam struktur biaya produksi mencapai 70 persen. “Demikian juga dengan industri tekstil, pulp dan kertas dengan harga gas sebesar US$ 9,15-US$ 16,0per MMBtu,” ungkap Airlangga.
Dia menghitung, apabila penurunan harga gas bumi menjadi US$ 3,8 per MMBtu akan menurunkan penerimaan negara sebesar Rp 48,92 triliun. Namun demikian, akan meningkatkan penerimaan berbagai pajak dari industri turunannya sebesar Rp 77,85 triliun.
Di samping itu, dalam rangka meningkatkan nilai tambah pada sektor industri, alokasi gas hendaknya diutamakan untuk kebutuhan dalam negeri dan sisanya dapat diekspor. “Persentase gas yang diekspor sebesar 40,55 persen hendaknya secara bertahap dapat dialokasikan untuk industri dalam negeri,” ujar dia.
Oleh karena itu, Kemenperin mengusulkan perubahan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Harga dan Pengguna Gas Bumi Tertentu. “Alokasi gas yang semula untuk tujuh sektor industri menjadi 10 sektor industri,” lanjut dia.
Kesepuluh sektor industri tersebut, yakni Industri Pupuk, Industri Petrokimia, Industri Oleokimia, Industri Baja/Logam Lainnya, Industri Keramik, Industri Kaca, Industri Ban dan Sarung Tangan Karet, Industri Pulp dan Kertas, Industri Makanan dan Minuman, serta Industri Tekstil dan Alas Kaki. “Tambahan sektor itu akan dibahas lagi oleh tim khusus. Harga yang kompetitif terus dikaji,” ujar Airlangga.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Panggah Susanto menegaskan, kesepuluh industri yang diusulkan tersebut merupakan sektor yang memiliki konsumsi tertinggi terhadap kebutuhan gas untuk energi dan bahan baku dalam proses produksinya. “Kalau harga gas dapat ditekan, kami optimis industri akan cepat berkembang,” ujarnya.
Panggah juga mengatakan, tim khusus pembahasan harga gas industri ini akan bergerak cepat untuk menentukan harga tepatnya. “Menteri ESDM menanggapi positif tentang usulan kami,” tandas dia.(Dny/Nrm)