Liputan6.com, Jakarta - PT Schroders Investment Management Indonesia (Schroders Indonesia) memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5 persen sampai 5,2 persen sampai akhir tahun. ‎Konsumsi masih menjadi basis pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Utama Schroders Indonesia Michael Tjoajadi mengatakan, pertumbuhan ekonomi dapat terjaga asalkan inflasi terkontrol dengan baik. Dia mengatakan, dengan inflasi yang tetap rendah maka daya beli masyarakat tetap terdorong. "Kita berharap konsumsi terjaga dengan inflasi rendah, daya beli ada," kata dia di Kantor Schroders Indonesia, Jakarta, Kamis (18/8/2016).
Selain itu, daya beli juga terdorong dengan adanya pengampunan pajak atau tax amnesty. Dia bilang, tax amnesty mendorong aliran dana masuk ke Indonesia. "Kita tetap berharap pertumbuhan ekonomi 5 persen sampai 5,2 persen," tambah dia.
Advertisement
Baca Juga
Sementara, Michael menuturkan pemangkasan belanja pemerintah tak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dia bilang, pemerintah tak memangkas belanja yang prioritas. "‎Pemerintah kan sudah memangkas belanja. Belanja yang dipangkas bukan infrastruktur, lebih ke rutinitas. Tapi kan kenaikan gaji dipertahankan, menjaga daya beli," tandas dia.
Namun, pernyataan dari Michael tersebut berseberangan dengan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Hendri Saparini. Hendri mengatakan, pemerintah harus berjuang keras untuk meraih target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen. Dia mengatakan, pemerintah mesti menentukan motor pendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kalau menurut CORE sulit ‎lebih 5,2 persen atau 5,3 persen. Kita lihat harus mencari yang men-drive (pertumbuhan ekonomi) semester 2 ini. Kalau kemudian create sesuatu apakah dari sisi konsumsi apakah investasi. Pemerintah masih punya waktu lima bulan untuk meyakinkan paling tidak 5,1 persen tercapai," kata dia di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (11/8/2016).
Dia mengatakan, sejak awal target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah memang terlalu tinggi. Oleh karena itu, target tersebut perlu dikoreksi sehingga menimbulkan kepercayaan pada anggaran pemerintah.
"Memang bukan hal yang mudah. Pertama target terlalu besar dan short fall terjadi. Sekarang yang kita perlukan adalah mengoreksi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Memotong depan belakang, jauh lebih mudah memotong di depan. Sehingga take over optimistic dalam penerimaan pajak," jelas dia.‎ (Amd/Gdn)