Sukses

Harga Rokok Rp 50 Ribu, YLKI Beberkan Manfaatnya buat RI

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Itu artinya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus menaikkan tarif cukai signifikan supaya rokok dijual seharga tersebut.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mendesak Kemenkeu segera menaikkan tarif cukai rokok sehingga harga jual rokok di Indonesia setara atau lebih dari negara lain. Contohnya di Singapura, Malaysia dan Thailand yang menjual rokok seharga Rp 30 ribu-40 ribu per bungkus.

"Cukai rokok harus naik tinggi supaya harga rokok bisa Rp 50 ribu per bungkus. Tujuannya mengendalikan konsumsi rokok dan mendulang penerimaan negara, karena selama ini kan penerimaan dari cukai rokok masih kecil," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (19/8/2016).

Tulus memperkirakan, jika harga rokok naik lebih dari dua kali lipat, misalnya dari harga Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu per bungkus menjadi Rp 50 ribu per bungkus, maka pemerintah bisa mendapatkan kenaikan pendapatan cukai lebih dari 100 persen.

"Jika sekarang ini penerimaan cukai rokok Rp 150 triliun, maka dapat naik sampai Rp 350 triliun. Jadi tidak perlu tuh dana dari tax amnesty," ia menerangkan.

Dampak positif lainnya, dengan harga rokok Rp 50 ribu per bungkus diyakini Tulus, dapat menekan konsumsi rokok, utamanya kalangan remaja dan anak-anak. Ia mengaku, selama ini salah satu pengeluaran terbesar masyarakat miskin adalah untuk rokok.

"Kalau harga rokok lebih mahal, orang tidak akan membeli atau mengurangi konsumsi rokok, termasuk remaja dan anak-anak. Tapi menghapus (konsumsi rokok) tidak bisa," ucapnya.

Syaratnya, kata Tulus, pemerintah harus mengeluarkan aturan pelarangan rokok dijual eceran atau ketengan. Menurutnya, sebagai barang kena cukai dan berdampak negatif bagi kesehatan, rokok harus dijual dengan harga lebih mahal.

"Kalau butuh uang banyak, pemerintah harus secepatnya menaikkan cukai rokok. Apalagi anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan habis untuk meng-cover peserta yang punya penyakit akibat rokok," paparnya.

Terkait potensi maraknya peredaran rokok ilegal akibat kenaikan harga rokok, dikatakan Tulus, itu merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melakukan penegakan hukum dan memberantas secara masif.

"Sekarang saja rokok sudah murah masih saja beredar rokok tanpa cukai. Ini perlu diberantas, penegakan hukum terhadap rokok ilegal harus berjalan, bahkan ditingkatkan," jelas Tulus.

Tulus juga menyebut bahwa industri rokok tak akan bangkrut jika harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu.

"Industri rokok tidak akan mati kalaupun harganya naik sangat mahal. Di negara lain juga dijual mahal," katanya.

Dia menggambarkan kondisi industri rokok yang masih berjaya saat krisis moneter melanda Indonesia 1997-1998 silam. Sementara industri lain mencatatkan penurunan pendapatan, bahkan bangkrut.

"Industri rokok satu-satunya yang tidak terdampak krisis, malah naik terus keuntungannya, termasuk saat ekonomi melambat sekarang ini. Makanya kalau pemerintah yang bilang industri rokok mati akibat harga rokok Rp 50 ribu, berarti sudah dicekokin industri," tegas Tulus.