Sukses

Harga Rokok Rp 50 Ribu, Industri Tembakau Terancam Bangkrut

Pemerintah tengah mempertimbangkan kenaikan cukai rokok yang cukup signifikan, bahkan mencapai 2 kali lipat.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mempertimbangkan kenaikan cukai rokok yang cukup signifikan, bahkan mencapai 2 kali lipat. Dengan demikian harga rokok yang sekarang ini di kisaran Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu bisa menjadi Rp 50 ribu.

Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan, kenaikan cukai rokok yang berlebihan ini akan membahayakan industri rokok itu sendiri. Padahal saat ini perusahaan rokok sebagai penyumbang pajak ke negara yang cukup signifikan.

"Suatu barang apapun kalau kenaikannya harganya terlalu berlebihan itu sangat fenomenal, akibatnya akan banyak," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (20/8/2019).

Salah satu yang dipastikannya adalah perusahaan rokok akan menurunkan produksinya. Secara jangka pendek, hal itu juga akan memicu pengurangan jumlah karyawan. Padahal, selama ini perusahaan rokok menjadi industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.

Ditambahkan Muhaimin, saat ini saja para pelaku industri rokok tengah menghadapi tantangan dimana selama dua tahun bertutur-turut produksi mereka tidak mengalami peningkatan. "Kalau ditambah ini (cukai rokok naik), ini justru menimbulkan resiko munculnya peredaran rokok-rokok ilegal," tegasnya.

Untuk itu dirinya meminta kepada pemerintah untuk terlebih dahulu melihat beberapa aspek sebelum menaikkan cukai rokok tersebut. Seluruh sektor mulai dari para petani, pelaku industri hingga ke konsumen harus menjadi pertimbangan.

Sebelumnya pada 17 Agustus 2016 kemarin, Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) tengah mengkaji usulan kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu per bungkus.

Unit Eselon I ini harus mempertimbangkan dari sisi aspek ekonomi apabila ingin menaikkan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual rokok seharga tersebut. "Harga rokok jadi Rp 50 ribu per bungkus adalah salah satu referensi yang dikomunikasikan," ujar heru.

Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan usulan tersebut bukan saja dari sisi kesehatan, tapi juga dari aspek ekonomi, seperti industri, petani dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.

"Jadi kita harus komunikasikan dengan seluruh stakeholder, baik yang pro kesehatan maupun yang pro industri, petani karena pasti ada tarik ulur di situ. Kalau cuma dengarkan salah satunya, bisa bangkrut itu," jelas Heru.

Kenaikan harga rokok yang terlalu signifikan akan berdampak negatif bagi industri. Bahkan efek buruk lainnya, sambung dia, marak peredaran atau penyelundupan rokok ilegal.

"Kalau dia (harga rokok) sudah lewat dari kurva optimum, pasti ada dampak negatifnya, yakni bisa mati (perusahaan) atau banyak rokok ilegal. Makanya kita harus cari titik optimum," terangnya.

Dirinya berharap, harga rokok di Indonesia dapat naik secara bertahap sesuai dengan peta jalan (roadmap) pemerintah sehingga tidak menimbulkan efek buruk yang berakibat pada kerugian ekonomi. (Yas/Gdn)