Sukses

Pengusaha Usul Kenaikan Cukai Rokok Tak Melebihi Inflasi

Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) tengah mengkaji usulan kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu per bungkus.

Liputan6.com, Jakarta - Rencana kenaikan cukai rokok menjadi perhatian beberapa kalangan masyarakat, terutama para pecinta rokok.‎ Rokok yang biasanya bisa dibeli dengan harga Rp 25 ribu per bungkus, dengan kenaikan cukai diperkirakan bisa mencapai Rp 50 ribu per bungkus.

Kenaikan yang mencapai dua kali lipat ini dinilai sangat berlebihan. Dengan kenaikan itu, dipastikan para pengusaha akan membunuh para produsen rokok secara perlahan.

"Kenaikan cukai rokok itu paling wajar ya tidak lebih dari inflasi. Kalau inflasi 4 persen, ya kenaikannya sekitar itu saja," papar‎ Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti ‎saat berbincang dengan Lipoutan6.com, Sabtu (20/8/2016).

Dengan kenaikan cukai maksimal setara dengan inflasi, ‎dikatakan Muhaimin para produsen rokok masih bisa mengantisipasi, meski saat ini jumlah produksi mereka mengalami stagnasi.

Berbagai cara dilakukan produsen rokok untuk mempertahankan bisnis, dikatakan Muhaimin mulai dari memperluas distribusi, turunkan harga rokok, hingga terus menggalakkan iklan.

Muhaimin mengaku saat ini pemerintah terus berkomunikasi dengan sejumlah asosiasi setiap kali ingin menaikkan cukai rokok.‎ Untuk rencana kenaikan kali ini, Muhaimin mengaku mendapat informasi tidak dua kali lipat, melainkan hanya 11 persen.

"Kalau kenaikan jadi Rp 50 ribu itu kan hanya kajian pengamat saja, yang saya tahu dan memang sudah direncanakan pemerintah itu kenaikan rata-rata 10 persen," jelas dia.

Sebelumnya pada 17 Agustus 2016, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) tengah mengkaji usulan kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Unit Eselon I ini harus mempertimbangkan dari sisi aspek ekonomi apabila ingin menaikkan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual rokok seharga tersebut.

"Harga rokok jadi Rp 50 ribu per bungkus adalah salah satu referensi yang dikomunikasikan," ujar Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi di Jakarta, Raabu (17/8/2016).

Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan usulan tersebut bukan saja dari sisi kesehatan, tapi juga dari aspek ekonomi, seperti industri, petani dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.

"Jadi kita harus komunikasikan dengan seluruh stakeholder, baik yang pro kesehatan maupun yang pro industri, petani karena pasti ada tarik ulur di situ. Kalau cuma dengarkan salah satunya, bisa bangkrut itu," jelas Heru.

Kenaikan harga rokok yang terlalu signifikan akan berdampak negatif bagi industri. Bahkan efek buruk lainnya, sambung dia, marak peredaran atau penyelundupan rokok ilegal.

"Kalau dia (harga rokok) sudah lewat dari kurva optimum, pasti ada dampak negatifnya, yakni bisa mati (perusahaan) atau banyak rokok ilegal. Makanya kita harus cari titik optimum," terang dia. (Yas/Gdn)