Sukses

Harga Minyak Susut Terdorong Pasokan dan Ekspor Bahan Bakar China

Rebound harga minyak mentah menuju level US$ 50 per barel membuat pengeboran kembali menggeliat.

Liputan6.com, New York - Harga minyak susut lebih dari 3 persen, turun dari kenaikan tertingginya dalam dua bulan pada pekan lalu, di tengah kekhawatiran tentang berkembangnya ekspor bahan bakar China, pengiriman minyak mentah Irak dan Nigeria yang lebih banyak serta penambahan jumlah rig minyak di Amerika Serikat (AS).

Melansir laman Reuters, Selasa (23/8/2016) harga minyak mentah Brent turun US$ 1,72 atau 3,4 persen menjadi US $ 49,16 per barel. Harga minyak sempat mencapai posisi tertinggi dalam dua bulan sebesar US$ 51,22 pada Jumat pekan lalu.

Sementara harga minyak mentah Amerika, West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak September turun US$ 1,47 atau 3 persen menjadi US$ 47,05  per barel.

Harga WTI sempat mencapai posisi tertinggi dalam enam minggu ke US$ 48,75 pada Jumat. Sedangkan harga WTI Oktober, ditutup turun US$ 1,70 atau 3,6 persen ke posisi US$ 47,41 per barel.

Harga minyak dipengaruhi ekspor diesel dan bensin China pada Juli yang tercatat melonjak masing-masing sebesar 181,8 persen dan 145,2 persen, dari bulan yang sama pada tahun lalu, menempatkan tekanan pada marjin produk olahan.

Di Amerika Serikat, produksi milik BP Plc di Whiting, Indiana, mencapai 413.500 barel per hari. Ini kembali ke produksi normal untuk pertama kalinya sejak akhir Juli, dan menambah pasokan produk olahan.

Adapun jumlah pengeboran di AS tercatat bertambah 10 dalam seminggu hingga 19 Agustus. Rebound harga minyak mentah menuju level US$ 50 per barel membuat pengeboran kembali menggeliat.

Di tempat lain, Irak berencana meningkatkan ekspor minyak Kirkuk mencapai 150.000 barel per hari dari ladang utaranya pada minggu ini.

Sementara pemberontak Nigeria yang secara teratur menyerang fasilitas minyak di negara itu awal tahun ini mengatakan mereka siap untuk menggelar gencatan senjata.

Reli harga minyak sempat terjadi selama dua minggu terakhir, pada awal Agustus terpicu spekulasi Arab Saudi dan negara Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan setuju untuk membekukan produksi bersama dengan Rusia dan anggota non-OPEC lainnya.

"Kami terus melihat perjanjian produksi OPEC sebagai hal sangat tidak mungkin," jelas bank investasi Wall Street Morgan Stanley dalam sebuah catatan.

Menurut Morgan Stanley, Riyadh tidak akan mengambil negosiasi pembekuan secara serius. Bagaimanapun, harga minyak dikatakan masih bisa berubah-ubah saat ini hingga akhir September sebelum OPEC dan produsen lainnya bertemu di Aljazair.

"Harga minyak kemungkinan akan mengalami lagi dip jangka pendek dalam beberapa minggu mendatang," katanya.(Nrm/Ndw)