Liputan6.com, Jakarta - Terlahir dari keluarga kaya, dalam diri Garibaldi Thohir atau yang akrab disapa Boy Thohir mengalir darah seorang pengusaha. Maklum, sang ayah, Teddy Thohir merupakan salah satu pemilik grup Astra International ini. Teddy juga menjalani beberapa bisnis lain.
Anak kedua dari tiga bersaudara ini sudah bercita-cita mengikuti jejak sang ayah, melakoni hidup sebagai seorang entreprenuer. Namun sepulang dari menimba ilmu di Universitas Northrop, Amerika Serikat (AS) dan meraih gelar MBA, Boy Thohir justru ingin menjajal peruntungan di perusahaan bergengsi, seperti Citibank, IBM di 1990-1991.
"Saya bercita-cita dari kecil mau jadi pengusaha. Tapi waktu saya kembali ke Tanah Air, saya tanya Daddy (red-ayah) bekerja apa. Beliau bilang, jangan tanya saya, kamu maunya apa. Saya mau kerja di Citibank atau IBM yang gajinya Rp 4 juta-Rp 5 juta," ucap Boy menceritakan perjalanan karirnya saat menjadi pembicara di acara Inspirato Liputan6.com, Jakarta, Selasa (23/8/2016).
Advertisement
Baca Juga
Sang ayah, katanya, malah mengeluarkan kalimat yang membangkitkan semangatnya untuk menggeluti dunia bisnis. Dunia yang diimpikannya sedari kecil, bukan saja untuk meneruskan nama baik keluarga, tapi juga berkontribusi pada negara.
"Daddy saya bilang, saya sudah investasi (sekolahkan) kamu mahal, kapan kamu balikin uang Daddy. Sempat saya berpikir kok sama anak perhitungan ya, tapi inilah yang membuat saya balik ke mimpi saya menjadi pengusaha," terang Boy, orang terkaya di Indonesia ke-42 versi Forbes di 2015.
Bisnis pertama yang ditekuni, kakak dari Erick Thohir, pemilik klub sepakbola Inter Milan ini ini adalah mendirikan perusahaan properti di kawasan Kasablanka, Jakarta. "Tapi istilahnya dulu itu saya jual beli tanah. Saya beli tanah, lalu saya jual dan sekarang dibangun apartemen Kasablanka," ucap Boy Thohir.
Sayangnya, usaha itu tidak berjalan mulus karena pembebasan lahan menjadi masalah utama. Inilah awal mula kejatuhannya sebagai pengusaha. Disini, ia diuji bahwa berbisnis di Indonesia selalu berhubungan dengan tanah. "Tapi saya tidak menyesal membangun usaha ini. Karena jangan dipikir semuanya mudah. Saya belajar banyak soal masalah tanah," tutur dia.
Perjalanan hidup berlanjut. Boy Thohir di 1997, memulai bisnis multifinance atau kredit motor. Ide ini diambil melihat tren di AS. Akhirnya ia mendirikan PT WOM Finance. Boy tetap membangun perusahaan tersebut dengan kerja keras dan integritas meski ia harus kembali menelan pil pahit tertimpa krisis moneter di 1998.
"Saat krisis, perusahaan saya hampir bangkrut. Apa kata orang tua saya, apa kata dunia kalau sampai bangkrut, padahal sudah dikasih modal. Karena tantangan anak pengusaha berbeda dengan yang betul-betul membangun usaha tanpa ada garis keturunan pengusaha," jelasnya.
Dengan strategi jitu, Boy akhirnya mampu melewati fase kritis itu. Di 2003, Pria kelahiran Jakarta, 51 tahun silam itu sukses mengantarkan WOM Finance melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Jadi kalau mau jadi pengusaha harus berpikir dan bermimpi besar. Tapi mimpi saja tidak cukup, kita harus bisa make it happen, membuat mimpi itu jadi nyata," Boy mengatakan.
Membangun Adaro
Masuk bisnis tambang
Tidak puas sampai di situ, Boy Thohir menjajal peruntungan lain di bisnis pertambangan. Ia merupakan sosok paling berperan dalam membangun kejayaan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) sebagai salah satu produsen batubara raksasa di dunia. Ia sukses memerahputihkan Adaro dari kepemilikan asing.
Dimulai pada 2005, Presiden Direktur Adaro Energy ini mulai terjun ke bisnis tambang batu bara. Perusahaan konsorsium Boy Thohir berhasil mencaplok saham Adaro Energy dari New Hope, perusahaan asal Australia.
"Saya melihat riset, dan lainnya, asing dan banyak orang meragukan bahwa orang Indonesia tidak bisa mengelola tambang. Tapi saya buktikan saya bisa membeli Adaro dari asing di 2005," katanya.
Setelah masuk menekuni bisnis tambang batubara di Adaro, diakui Boy Thohir, sebagian besar manajemen perusahaan yang semula dikuasai asing itu adalah orang Indonesia. Dengan tekad kuat menepis anggapan orang bahwa orang pribumi kurang piawai mengelola perusahaan tambang, maka ia meminta bantuan kepada manajemen.
"Kalau asing bisa, kenapa saya tidak bisa. Makanya saya minta kepada manajemen untuk membantu saya mengembangkan dan membesarkan Adaro. Karena kalau saya gagal, kita semua yang gagal. Dan pasti asing akan senang dan terbukti bahwa orang Indonesia cuma bisa beli, tapi tidak bisa urus sehingga kolaps," terangnya.
Berkat kerja keras dari seluruh tim manajemen dan karyawan, dukungan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat, Boy Thohir bangga Adaro Energy dapat terus bertahan di puncak mengibarkan bendera perusahaan, di tingkat regional bahkan dunia.
Proyek prestisius Adaro baru-baru ini dan menjadi tonggak sejarah baru Adaro Energy, bahkan untuk Indonesia adalah realisasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah berkapasitas 2x1.000 Megawatt (Mw).
Proyek yang diperkirakan menelan investasi US$ 4,2 miliar milik PT Bhimasena Power Indonesia, di mana 34 persen sahamnya dimiliki Adaro Power, anak usaha Adaro Energy. Proyek ini merupakan proyek PLTU terbesar se-Asia Tenggara.
"Kenapa saya mau masuk Adaro, karena saya ingin menciptakan lapangan kerja lebih besar, mewujudkan mimpi menjadi pemain kelas dunia, dan memberikan kontribusi lebih besar lagi kepada negara," kata Boy Thohir. (
Advertisement