Liputan6.com, Jakarta - Harga jual batu bara mulai tenggelam sejak pertengahan 2012. Kondisi tersebut diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan akibat pelemahan permintaan emas hitam dari luar negeri seiring perlambatan ekonomi dunia.
Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk, Garibaldi Thohir mengungkapkan, perlambatan ekonomi China, Amerika Serikat (AS), Eropa, Jepang dan negara lain telah mengikis permintaan batu bara dari Indonesia. Sementara suplai berlimpah.
Beruntung, lanjut Boy Thohir, begitu panggilan akrabnya, produsen batu bara masih mendapat pesanan ekspor batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap yang telah terbangun di seluruh dunia.
Advertisement
Baca Juga
"Karena PLTU yang sudah terbangun harus tetap berjalan jadi permintaan batu bara di luar negeri relatif stabil," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Rabu (24/8/2016).
Masalahnya, tambah Boy Thohir, terjadi kelebihan pasokan lantaran saat booming, semua orang terjun ke bisnis tambang batu bara. Karena pasokan yang berlebih, sementara permintaan relatif stabil, berdampak pada penurunan harga secara drastis.
"Saat ini harga rata-rata batu bara di bawah US$ 60 per ton. Anjlok lebih dari 60 persen dari harga yang pernah dicapai US$ 130-US$ 140 per ton di periode 2010-2011," kata orang terkaya di Indonesia ke-42 versi Forbes (2015) itu.
Menurutnya, kondisi industri batu bara dunia masih akan tetap sama di tahun depan. Pun ada kenaikan, diperkirakan Boy Thohir paling besar 5 persen-10 persen.
"Dalam dua bulan terakhir sudah ada peningkatan harga, tapi ekonomi dunia masih mengalami gangguan. Jadi kondisinya masih tetap sama, kalaupun harga batu bara naik, paling 5 persen-10 persen," tutur Boy Thohir.
Bangkrut
Penurunan harga batu bara memberi tekanan berat terhadap industri. Banyak perusahaan tutup akibat tak kuat menanggung beban ongkos operasional yang besar, sementara pendapatan menipis.
Dalam situasi seperti ini, perusahaan tambang batu bara, disarankan Boy Thohir harus efisien. Siklus naik turunnya harga komoditas merupakan keniscayaan yang harus dihadapi produsen batu bara.
"Namanya komoditas, harga bisa up and down. Ketika lagi down, sangat berat bagi perusahaan yang tidak ekonomis. Kompetisi sangat keras, kalau tidak efisien dari sisi produksi, bisa kolaps. Harga jual tidak bisa diprediksi, tapi cost bisa dikontrol," jelas Boy Thohir. (Fik/Gdn)