Sukses

Pemerintah Revisi Aturan yang Picu Produksi Migas RI Terus Turun

Pemerintah sedang merevisi peraturan migas agar sektor hulu migas Indonesia kembali atraktif.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang menggodok revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dan pajak penghasilan di sektor hulu migas.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, peraturan tersebut membuat perusahaan pencari minyak dan gas (migas) atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) kabur dari Indonesia. Sebab peraturan tersebut dinilai memberatkan.

"Dampaknya dulu pesat sekali. Dari 321 KKS yang sudah ada, turun terus setelah ada peraturan mengembalikan wilayah kerja ke negara menunjukkan tidak atraktif,‎" kata dia di ‎Kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (9/9/2016).

Wiratmaja mengungkapkan, jika peraturan yang salah satunya mencantumkan pengenaan pajak eksplorasi tersebut tidak berubah, akan berdampak pada produksi migas, yang diperkirakan hanya menc‎apai 535 ribu barel setara minyak pada 2050. Padahal konsumsi terus meningkat, diperkirakan mencapai 5,3 juta barel setara minyak pada waktu yang sama.

"Kalau tidak eksplorasi masif dan terobosan, pada 2050 hanya 70 ribu barel per hari untuk minyak, padahal konsumsi kita tinggi sekali‎," jelas dia.

Karena itu, pemerintah sedang merevisi peraturan migas tersebut agar sektor hulu migas Indonesia kembali atraktif, menarik kembali investor untuk melakukan pencarian migas.

Pokok pembahasan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 adalah, penghapusan pajak yang berkaitan dengan kegiatan eksplorasi, perubahan pemberlakuan prinsip blok basis yaitu bagian negara dan KKKS disesuaikan dengan kondisi Blok Migas, pengaturan insentif pada kegiatan hulu migas.

‎"Sisi investasi kita beri berbagai insentif, pada harga minyak bagus tentu insentif kita tarik, seusai dengan biaya dibagi dengan hasil," tutup dia.(Pew/Nrm)

Video Terkini