Liputan6.com, Jakarta Ketua DPD Irman Gusman ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam dugaan kasus kuota impor gula untuk tahun ini.
Irman diciduk dari hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dengan barang bukti uang Rp 100 juta, pada Sabtu 17 September 2016 dinihari.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan, penangkapan Irman Gusman bersumber dari rezim kebijakan kuota impor komoditas pangan di Indonesia.
Kebijakan kuota pada importasi komoditas strategis dipandangnya sangat bermasalah dari sisi hukum pidana maupun dari sisi hukum persaingan usaha.
Advertisement
Baca Juga
Secara pidana, dia mengatakan, instrumen kebijakan kuota impor berpotensi menyebabkan persekongkolan dalam menentukan pemegang kuota impor.
Apalagi hampir semua komoditas pangan terdapat disparitas harga yang sangat besar antara harga di dalam negeri dengan luar negeri.
"Hal ini memberi insentif bagi calon pemegang kuota untuk menyuap dalam jumlah sangat besar," ujar Syarkawi dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (18/9/2016).
Ia mencontohkan kasus gula impor. Selisih antara patokan harga pembelian oleh pemerintah dengan harga di luar negeri bisa lebih dari dua kali lipat.
Harga pokok gula di Indonesia mencapai sekitar Rp 9.000 per Kilogram (Kg), sementara harga swasta domestik sekitar Rp 4.500 dan harga internasional lebih murah lagi.
Disparitas harga domestik dan harga internasional, lanjut Syarkawi sangat lebar, ditambah dengan buruknya tata kelola yang ditandai birokrasi tidak transparan dalam penentuan pemegang kuota impor.
"Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik korupsi dan bahkan persekongkolan untuk mengendalikan harga komoditas pangan di dalam negeri (kartel)," ujarnya.
Rezim kuota impor komoditas pangan, dijelaskan Syarkawi, juga rawan menyebabkan praktik kartel, yaitu persekongkolan dalam mengatur pasokan komoditas pangan Ke pasar (kartel pasokan) atau persekongkolan dalam menetapkan harga (price fixing).
"Kartel pangan menyebabkan harga pangan di tingkat konsumen menjadi mahal dan memberikan keuntungan sangat eksesif kepada pelaku kartel," tegasnya.
Kebijakan kuota impor secara tidak langsung berpotensi memfasilitasi terjadinya kartel pangan karena pemberian kuota yang tidak transparan dan diduga melalui proses persekongkolan (korupsi) yang menyebabkan pemberian kuota impor hanya kepada pelaku usaha tertentu yang terafiliasi satu sama lainnya.
"Jadi seolah-olah kuota impor diberikan kepada puluhan perusahaan tetapi setelah diperiksa secara teliti, kuota tersebut hanya terpusat maksimum lima grup perusahaan saja," tutur Syarkawi.
Lanjutnya, rezim kuota impor menciptakan struktur pasar komoditas pangan yang oligopoli. Hal ini memudahkan terjadinya praktik kartel yang mengeksploitasi pasar dengan harga mahal untuk memperoleh keuntungan yang eksesif. Modus ini sangat mungkin terjadi jika pemberian kuota impor dilakukan secara bersekongkol dan tidak transparan.
Implikasi lain dari kebijakan kuota impor, Syarkawi menuturkan, harga komoditas pangan di dalam negeri menjadi sangat tinggi dan berfluktuasi. Dimulai dari rendahnya akurasi data pemerintah dalam menentukan total produksi atau pasokan dan konsumsi komoditas pangan di dalam negeri.
Lemahnya akurasi data oleh pemerintah menyebabkan over estimate (berlebih) dalam menentukan besaran produksi. Bahkan dalam beberapa kasus under estimate (kekurangan perhitungan) dalam menentukan tingkat konsumsi per kapita per tahun.
Apa Lagi terdapat keinginan yang sangat kuat bagi Pemerintah untuk mencapai swasembada pangan Dalam jangka pendek.
Kelebihan dan kekurangan perhitungan dalam penetapan kuota menyebabkan kekurangan pasokan di dalam negeri. Apalagi pengalaman selama ini, realisasi impor untuk setiap komoditas pangan selalu lebih rendah dari besarnya kuota impor yang diberikan kepada pelaku usaha. Akibatnya, harga pangan di dalam negeri menjadi mahal yang menguntungkan importir dengan margin yang tinggi.
"Jadi pola pemberian kuota yang diduga syarat korupsi akan bermuara pada kartel pangan, kelangkaan barang, dan harga tinggi yang merampas pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat miskin," tegas Syarkawi.
Ia menyarankan, pemerintah perlu solusi yang komprehensif dalam tata kelola komoditas pangan nasional sekaligus mengikis habis potensi praktik korupsi dan kartel di dalamnya.
Langkah yang dapat dilakukan dalam jangka pendek, antara lain :
1. membenahi di hulu produksi dengan meningkatkan efisiensi produksi pangan nasional. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi disparitas harga pangan impor dan produksi dalam negeri
2. evaluasi kebijakan untuk mengubah pola pengendalian impor komoditas pangan dari sistem pengendalian langsung lewat kuota yang rawan korupsi dan kartel menjadi pengendalian tidak langsung melalui mekanisme tarif.
Pengendalian melalui sistem mekanisme tarif memberi peluang secara terbuka kepada semua pelaku usaha untuk melakukan impor dengan tarif bea masuk yang ditetapkan pemerintah.
Pola ini mencegah potensi korupsi, mengurangi konsentrasi pada importir tertentu dan berpotensi menambah pendapatan negara dari tarif bea masuk.
3. mengubah pola manajemen tata niaga komoditas pangan yang memberlakukan kontrol ketat di hulu tetapi sangat liberal (bahkan tanpa pengawasan) di sisi hilir. Pola manajemen seperti ini sangat rawan korupsi dan kartel untuk memperoleh keuntungan besar yang merugikan masyarakat kecil. Â
Idealnya, dalam sistem kuota impor di mana hanya segelintir pelaku usaha yang menguasai pasokan impor diawasi secara ketat dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Namun Hal ini sulit dilakukan jika sejak awal pemberian kuota terindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
4. dalam jangka sangat pendek, perlu didorong transparansi dalam pemberian kuota. Pemerintah dapat melakukan tender terbuka dalam penentuan kuota disertai persyaratan harga jual di pasar domestik. Tentu saja perlu melibatkan BUMN dalam setiap komoditas pangan sehingga pengendalian pasokan dan harga bisa dilakukan melalui intervensi pasar.
"Langkah di atas diharapkan dapat membantu pemerintah memberantas dua penyakit kronis KKN dan praktik kartel," harap Syarkawi.(Fik/Nrm)