Sukses

Luhut Paksa SKK Migas Hitung Ulang Cost Recovery

Pelaksana tugas Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan meminta biaya cost recovery tak lebih dari US$ 10,4 miliar.

Liputan6.com, Jakarta Pelaksana tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan mendorong efisiensi biaya pengganti kegiatan pencarian minyak dan gas bumi (cost recovery). Luhut meminta biaya cost recovery tak lebih dari US$ 10,4 miliar.

Luhut bercerita, salah satu pos di Kementerian ESDM yang cukup besar adalah biaya cost recovery. Untuk mendukung upaya pemerintah melakukan penghematan anggaran, Luhut pun meminta agar cost recovery juga dipotong. 

Selama ini Pemerintah Indonesia selalu menerima setiap pengajuan cost recovery dari perusahaan pencari minyak atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tanpa menghitung ulang apakah angka yang diajukan tersebut sesuai.

"Selama ini kita terima saja. Terus terang kita selama ini taking for granted saja," kata Luhut, saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (21/9/2016).

Luhut pun meminta, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak (SKK Migas), untuk melakukan perhitungan ulang komponen pembentukan cost recovery, agar bisa ditekan di bawah US$ 10,4 miliar.

"Sekarang, di tahun ini kita tetapkan kita tidak mau ‎lari dari US$10,4 miliar. Saya sudah beritahu Pak Amien (Kepala SKK Migas), saya mau segini," tutur Luhut.

Menurut Luhut, SKK Migas diberi waktu dua mi‎nggu untuk mencari angka cost recovery yang tepat, dengan menggunakan konsultan. Jika tercapai target tersebut, maka akan menjadi prestasi Pemerintah mencapai efisiensi.

"Kalau itu kita capai baru prestasi. Kalau business as usual itu tidak prestasi. Caranya bagaimana, ada, saya sudah bilang kemarin sama tim. Coba cari konsultan yang bisa menurunkan cost recovery kita," tutup Luhut.

Untuk diketahui, SKK Migas mengusulkan cost recovery dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara ‎(RAPBN) 2017 ke Badan Anggaran DPR sebesar US$ 11 miliar, namun usulan tersebut dikembalikan untuk dirapatkan dengan Komisi VII DPR. (Pew/Gdn)