Liputan6.com, Yogyakarta - Sejak berdiri dan dikelolanya sarana pasca panen, harga kakao di Desa Bunder Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul naik dua kali lipat, yakni Rp 12 ribu menjadi Rp 30 ribu per kilogram. Kini, petani mulai merasakan manisnya menanam kakao.
Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP) Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,Johozua Markus Yoltuwu mengatakan, hasil pengelolaan produk unggulan kakao tersebut dapat menjadi salah satu ikon kabupaten gunung kidul.
Untuk itu, dibutuhkan merek dan pusat pengolahan yang dapat dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bersama.
"Kita sangat berharap hasil keunggulan dari suatu daerah bisa menjadi andalan, meskipun terlihat masih konvensional dalam pengelolaannya, saya sudah lihat untuk memipil, mengupas
Kulit 1 kg butuh 1 jam, sehingga kita butuh teknologi untuk mengupas yang kira-kira bisa 5 atau 3 menit," kata Johozua seperti ditulis Minggu (2/10/2016).
Advertisement
Baca Juga
Dari aspek konstruksi, Ia menuturkan, infrastruktur yang msh manual saat ini sedikit mengarah ke hilir, karena itu pihaknya akan membahas dengan kementerian terkait untuk mengarah hal tersebut, seperti Kementerian Pertanian, sehingga teknologi tersebut ada standarnya, jadi tidak hanya dikonsumsi oleh lokal saja, tetapi juga sedikit mengarah ke yang lainnya seperti di ke mal-mal.
"Untuk lokal, BUMDes bersama contohnya, bisa difasilitasi oleh camat. Misalnya, nama produknya cokelat Gunkid (Gunung Kidul), buatkan brand-nya lebih mudah masuk ke pasar seperti di mal-mal," ujar dia.
Terkait pemasaran lanjutnya, juga bisa diberdayakan melalui desa online. Ia mengatakan melalui e-commerce, komunikasi penjualan produk akan dipermudah, dan harga produk akan lebih mudah dikendalikan.
Contohnya, tambah Johozua, jaringan informasi teknologi di desa, seperti model IT dioperasikan oleh generasi muda di desa dengan perangkatnya,
"Pertama hilirisasi produk, dan teknologi melalui e-pasar dan desa online. Dengan begitu tidak akan ada tengkulak yang mengombang-ambingkan harga, yang memborong habis produk desa tanpa kontrol," ujar dia.
Di sisi lain, Suratman, Wakil Rektor UGM mengatakan, selain menggalakkan program one village one product, di bawah binaan UGM desa Bunder juga digalakkan. Melalui program one person one product. Artinya, dalam satu kepala keluarga dipastikan untuk memiliki satu mata pencarian, sehingga tidak ada yang menjadi pengangguran.
"Kita memang tengah fokus untuk satu desa satu produk. Ada UMKM, ada koperasi, beberapa perguruan tinggi, dan BNI mengeroyok. Peran perguruan tinggi, adalah melakukan riset agar teknologi lebih maju. Misalnya pemipilan kakao, yang masih dilakukan manual, mungkin bisa.menggunakan teknologi agar proses menjadi lebih cepat," ujar Suratman.
Untuk diketahui Desa Bunder adalah salah satu desa yang tengah disiapkan untuk menjadi salah satu model desa kakao. Melalui sarana pasca panen, cokelat petani dibeli oleh sarana pasca panen yang dikelola oleh kelompok tani Sarimulyo.
Kemudian kakao tersebut diproduksi menjadi aneka produk, yakni Patilo cokelat, kacang cokelat, kacang mete cokelat, dark cokelat (cokelat asli). Produk ini pun telah mampu menembus pasar hingga kota besar seperti Jakarta dan Bali. (Dewi A/Ahm)