Sukses

Karyawan PT Freeport Indonesia Mogok Kerja

Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT Freeport Indonesia (PT FI) menggelar unjuk rasa pada Senin, (3/10/2016).

Liputan6.com, Jayapura - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT Freeport Indonesia (PT FI) menggelar unjuk rasa. Dalam unjuk rasa tersebut, SPSI Freeport meminta adanya keadilan pembagian bonus bagi kurang lebih 800 karyawan yang bekerja di tambang terbuka.

Sekretaris Hubungan Industrial Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Freeport Tri Puspital menyebutkan, klimaks permasalahan pada pertemuan 19 September 2016 terjadi ketimpangan pemberian bonus bagi pekerja tambang terbuka hanya 17 persen. Sementara bagi pekerja Geotek mendapatkan bonus 45 persen dari total gaji karyawan.

"Para pekerja kecewa mendapatkan bonus kecil, apalagi selama ini karyawan telah membantu perusahaan dalam operasional. Dengan adanya ketimpangan ini, maka sejak 28 September karyawan memutuskan untuk mogok kerja, hingga ada kesepakatan antara perusahaan dan karyawan," jelas Tri Puspital, saat dihubungi Liputan6.com, Senin (3/10/2016).

Setiap harinya, tambang terbuka itu menghasilkan sekitar 200 ribu ton ore atau bijih mineral. Sementara para pekerja di tambang terbuka itu membawa alatnya masing-masing berkisar 6-7 jam per hari.

"Sementara ini yang dituntut oleh teman-teman karyawan adalah meminta transparansi dari perusahaan tentang pemberian bonus, misalnya bagaimana formula pemberian bonus, bagaimana caranya dan baru dibandingkan dengan aktual pencapaian dengan kondisi real di lapangan," urai dia.

Juru bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama membenarkan adanya mogok kerja sejak 28 September dari karyawan di tambang terbuka, karena masalah pemberian bonus.

"Kami sedang berupaya untuk mengatasi masalah ini dan mengembalikan operasi tambang terbuka sesegera mungkin," jelasnya.

Mogok kerja yang dilakukan karyawan Freeport Indonesia tersebut tak berdampak pada operasi tambang bawah tanah. "Operasi pabrik pengolahan juga masih beroperasi secara terbatas,"ungkap dia.  (Katharina Janur/Gdn)