Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah saat ini tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur mengenai penerapan Undang-Undang (UU)Â sertifikasi halal yang sudah disetujui DPR RI beberapa tahun lalu.
Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkomsi) Dewi Rijah Sari menilai PP tersebut alangkah lebih baik tidak usah diterbitkan. Karena baginya, UU sertifikasi halal tersebut dianggap tidak perlu.
Dia memahami apa yang dimaksudkan pemerintah dengan diterbitkannya UU sertifikasi halal tersebut, yang ingin menjadikan Indonesia sebagai halal hub dunia.
"Global islamic indicator Indonesia itu nomor 10 di dunia, nomor 1 nya Malaysia. Malaysia tidak ada UU semacam ini, tapi mereka bisa jadi yang nomor 1," kata Dewi di Hotel Ibis, Jakarta, Rabu (5/10/2016).
Baca Juga
Dewi menuturkan, UU sertifikasi halal ini terlalu kompleks. Pemerintah yang ingin untuk menjadikan Indonesia sebagai halal hub, belum tercerminkan dalam UU tersebut.
"‎Alangkah lebih baik UU ini ditinjau ulang. Kalau memang ingin memajukan potensi bisnis halal apakah perlu UU ini. Marilah belajar dari negara lebih maju dari pada bahas UU ini," tegas Dewi.
Sebelumnya, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta kepada pemerintah untuk meninjau ulang penerapan Undang-Undang (UU) sertifikasi halal.
Katua Apindo Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardhana menjelaskan dari beberapa pasal yang sudah tercantum dalam UU tersebut dinilai sangat kontradiktif dengan esensi yang dimaksudkan.
"Jadi Undang-Undang ini tidak ada urgencynya, beberapa pasal di dalamnya juga malah kontradiktif. Definisi mengenai apa itu halal di sini juga masih terlalu luas," kata Danang.
‎Dia menuturkan, UU ini mengibaratkan Indonesia menjadi negara yang sudah mandiri, tidak tergantung terhadap negara lain. Padahal saat ini sebagai negara berkembang Indonesia masih tergantung pada produk-produk impor.
Jika UU ini diterapkan, beberapa negara yang selama ini menjadi tujuan impor Indonesia dinilai akan kesulitan untuk mengikuti prosedur yang ditentukan dalam UU ini.
"Kita itu masih ada bahan-bahan atau produk yang impor, dengan demikian secara teknis kita berhubungan dengan negara lain. Kalau UU ini diterapkan, apa mereka mau mensertifikasi produknya untuk masuk ke Indonesia, kalau tidak mau, kita mau apa?," papar dia. (Yas/Ahm)
Advertisement
Â