Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengkritisi penetapan harga gas di Indonesia yang belum menyesuaikan dengan harga internasional. Padahal dengan turunkan harga gas dapat mendorong pertumbuhan industri.
Staf Ahli Bidang Sumber Daya Industri Kementerian Perindustrian Dyah Winarni Pedjiwati mengatakan, saat ini harga minyak dunia masih belum pulih dan berada pada kisaran US$ 50 per barel. Hal itu menyebabkan rendahnya harga gas internasional sebesar US$ 1,78 hingga US$ 4,71 per MMBTU. Namun kondisi tersebut terjadi pada gas di Indonesia.
Harga gas domestik saat ini adalah sebesar US$ 6 hingga US$ 13,5 MMBTU yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga ‎gas internasional.
"Harga gas internasional, jauh lebih murah dibanding Indonesia," kata ‎Dyah, dalam diskusi penurunan harga gas industri untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional, di Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Baca Juga
Dyah menuturkan, hal ini menyebabkan turunnya utilisasi industri dalam negeri, sehingga produk industri sulit bersaing di pasar global. Hal itu lantaran penggunaan gas di sektor industri berkontribusi sangat signifikan dalam struktur biaya industri, maka perlu dilakukan penyesuaian harga gas bumi untuk industri.
"Khususnya untuk industri petrokimia, pupuk, dan listrik di mana kontribusi gas terhadap struktur biaya produksi mencapai 70 persen," tutur Dyah.
Dyah mengungkapkan, penurunan harga gas bumi secara langsung akan memberikan efek terhadap peningkatan kinerja industri tersebut melalui pengurangan biaya produksi secara signifikan. Selain itu juga meningkatkan nilai produksi dan menaikkan nilai tambah.
Penurunan harga gas bumi sebesar 47 persen akan memberikan nilai tambah kepada penerimaan negara yang diperoleh dari pajak dan valuasi industri turunan sebesar Rp 21,3 triliun dan penurunan harga gas sebesar 68 persen dapat memberikan peningkatan penerimaan negara sebesar Rp 31,97 triliun.
"Jumlah penerimaan yang besar tersebut diikuti dengan penguatan industri domestik melalui peningkatan nilai tambah yang sangat signifikan dan penyerapan tenaga kerja," tutur Dyah. (Pew/Ahm)
Advertisement
Â