Liputan6.com, Jakarta Keuangan Syariah bisa menjadi salah satu solusi dunia dalam mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
“Prinsip-prinsip khas keuangan syariah yang memihak pada pemerataan pendapatan dan berorientasi pada kegiatan sosial lingkungan, menjadikan pengembangan sistem keuangan syariah menjadi sangat relevan dengan pencapaian target-target SDGs,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad seperti dikutip Senin (10/10/2016).
Muliaman menyampaikan pandangannya itu saat menjadi pembicara dalam Seminar Keuangan Syariah di Washington DC yang diselenggarakan oleh World Bank dan Islamic Financial Services Board pada Jumat kemarin (7/10/2016).
Advertisement
Keuangan syariah, juga tidak hanya bisa menjangkau aspek pemberantasan kemiskinan tetapi juga mencakup peningkatan kesehatan, penyediaan pendidikan yang berkualitas, kesetaraan gender, pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, antisipasi perubahan iklim dan juga penurunan tingkat ketimpangan tingkat pendapatan.
Baca Juga
OJK sebagai otoritas sektor jasa keuangan di Indonesia terus mendorong perkembangan sektor keuangan syariah mulai dari sektor perbankan syariah, IKNB syariah dan pasar modal syariah.
Adapun share industri perbankan syariah terhadap industri perbankan nasional menunjukkan kenaikan bila dibandingkan tahun sebelumnya, meningkat dari 4,60 persen di Juli 2015 menjadi 4,81 persen di Juli 2016.
Share tersebut diperkirakan akan mencapai sekitar 5,13 persen apabila turut memperhitungkan hasil konversi BPD Aceh menjadi Bank Umum Syariah.
Sejalan dengan perkembangan share tersebut, terjadi kenaikan aset perbankan syariah (BUS dan UUS) sebesar 18,49 persen (YoY), dari Rp 272,6 triliun (Juli 2015) menjadi Rp 305,5 triliun (Juli 2016).
Kenaikan tersebut terutama didorong meningkatnya penghimpunan dana pihak ketiga sebesar 12,54 persen (YoY), dari Rp 216 triliun (Juli 2015) menjadi Rp 243 triliun (Juli 2016) yang selanjutnya telah mendorong penyaluran pembiayaan tumbuh sebesar 7,47 persen (YoY), dari Rp 204,8 triliun (Juli 2015) menjadi Rp 220,1 triliun.
Dari sisi kualitas pembiayaan, NPF gross mengalami penurunan (YoY) dari 4,89 persen (Juli 2015) menjadi 4,81 persen (Juli 2016).
Sementara profitabilitas yang tercermin dari rasio ROA meningkat dari 0,91 persen (Juli 2015) menjadi 1,06 persen (Juli 2016). Sedangkan rasio BOPO membaik dari 94,19 persen (Juli 2015) menjadi 92,78 persen (Juli 2016).
Selain itu, terjadi peningkatan kecukupan permodalan perbankan syariah yang tercermin dari kenaikan rasio CAR, yaitu dari 14,47 persen (Juli 2015) menjadi 14,86 persen (Juli 2016).
Sementara untuk pasar modal syariah, persentase nilai masing-masing efek syariah dari total efek per tanggal 23 September 2016 adalah sebagai berikut, saham syariah sebesar 55,97 persen, sukuk korporasi sebesar 3,88 persen, reksa dana syariah sebesar 3,76 persen dan sukuk negara sebesar 15,08 persen.
Sedangkan perkembangan industri keuangan non bank (IKNB) Syariah sampai Juli 2016, total aset IKNB Syariah meningkat sebesar 23,18 persen menjadi Rp 80,1 triliun. Pertumbuhan aset didominasi oleh penambahan pelaku usaha serta pengembangan produk dan layanan IKNB Syariah.
Sementara itu, sukuk Indonesia di lingkup global telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan yang mencapai sekitar 23,3 persen, atau sekitar US$ 10,15 miliar dari total penerbitan sovereign sukuk internasional. Indonesia juga Negara pertama yang memiliki sukuk retail.
Muliaman menyampaikan bahwa pasar modal syariah juga bisa berperan signifikan dalam membantu pembiayaan proyek-proyek infrastruktur pemerintah, terutama melalui pengembangan pasar sukuk.(Nrm/Gdn)