Sukses

Menteri Susi: Mogok di Muara Baru Bukan Murni Suara Nelayan

85.000 nelayan, buruh perikanan dan ABK di Pelabuhan Perikanan Muara Baru, Jakarta Utara, mogok pada Senin 10 Oktober kemarin.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melihat bahwa aksi mogok yang dilakukan oleh nelayan, buruh perikanan dan anak buah kapal (ABK) di Muara Baru, Jakarta Utara pada Senin, 10 Oktober kemarin bukan murni aspirasi dari nelayan, buruh perikanan dan ABK. Aksi mogok tersebut dimotori oleh para pengusaha, baik pemilik kapal dan pabrik-pabrik.

"Itukan bukan nelayan, nelayan yang mana coba? Itu kan pemilik kapal yang bawa-bawa nama nelayan. Tidak ada nelayan sebenarnya. Kalau nelayan pasti senang dengan kebijakan kita. Jangan mengatasnamakan nelayan. Pengusaha kapal dan pabrik-pabrik pengolahan itu bukan nelayan," kata Susi di sela penyelenggaraan Simposium Kejahatan Perikanan Internasional di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Selasa (11/10/2016).

Untuk diketahui, 85.000 nelayan, buruh perikanan dan ABK di Pelabuhan Perikanan Muara Baru, Jakarta Utara, mogok pada Senin 10 Oktober kemarin untuk menentang rencana kenaikan biaya sewa lahan dan percepatan masa sewa lahan kawasan.

Ribuan nelayan, buruh dan juga anak buah kapal yang mogok kerja tersebut juga mengkritik Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan. Sebagai implementasi dari aturan tersebut, mulai 1 September mendatang, pemerintah melalui Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) akan menaikkan tarif sewa lahan menjadi Rp 61.500 per meter persegi per tahun, naik 48 persen dari tarif sebelumnya. Kenaikan tarif tersebut ditolak oleh para nelayan, buruh dan ABK. 

Menteri Susi menegaskan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sangat mengapresiasi dan mendukung langkah yang dilakukan oleh Perum Perindo. Terlebih lagi, praktik percaloan kerap menghantui Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman di daerah Pejaringan tersebut. 

"Sekarang kita mau perbaiki demi kepentingan publik, biar tidak dikuasai oleh hanya 5 orang 10 orang. Itu kan hanya 5 orang atau berapa yang menguasai di sana hampir 80 persen tanah negara dengan uang sewa Rp 10 juta per hektar per tahun itu ada yang sewa hampir 30 tahun. Terus dia sewakan ke orang Rp 500 ribu per meter, bener tidak itu?" kata Susi.

Ia juga membeberkan bahwa praktik percaloan ini tidak luput dari tindakan korupsi para pejabat. Susi mendukung apabila masih ada yang menolak kenaikan sewa lahan, maka pengosongan paksa pantas dilakukan.

"Mereka inikan yang bawa nelayan kenal pejabat-pejabat juga, makanya (praktik percaloan) bisa mulus sampai saat ini. Ya kalau perlu dibuldozer ya tidak apa-apa. Mereka sudah tanda tangan kok, setuju dua tahun lalu," tegas Susi.

Bahkan menteri yang berhasil menangani pencurian ikan dengan kebijakan menenggelamkan kapal asing ini pun menantang jika ada yang tidak setuju dengan kebijakan. Ia menawarkan diri jika ada yang ingin membawanya ke meja hijau.

"Lagian saya sudah bilang kalau ada yang tidak suka silakan PTUN kan saya. Saya siap, kan saya bukan bawa nama pribadi. Ke pengadilan sampai ke Mahkamah Agung (MA) silakan. Saya kan bukan bawa pribadi, itu kebijakan," Menteri Susi menekankan. (Richo/Gdn)