Liputan6.com, Jakarta - Masih ingat dengan rencana penggantian wajah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjadi Badan Penerimaan Pajak? Rencana besar transformasi kelembagaan ini terus diperjuangkan pemerintah dalam revisi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) di 2016.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Arif Yanuar mengatakan, pemerintah masih berharap DPR dapat membahas revisi UU KUP di sisa waktu tahun ini. Sebab Rancangan UU KUP sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
"RUU KUP sudah disampaikan ke DPR. Kami ingin berlaku di tahun depan, dengan harapan dibahas tahun ini. Karena tahun depan mulai lagi pembahasan revisi UU PPh dan PPN," kata Arif di Jakarta, seperti ditulis Senin (17/10/2016).
Advertisement
Baca Juga
Dijelaskannya, DJP tidak mempermasalahkan bila pembentukan Badan Penerimaan Pajak ini langsung di bawah Presiden atau tetap berada di bawah Menteri Keuangan (Menkeu), termasuk lepas dari Kemenkeu atau tidak.
DJP, sambung Arif, hanya berharap diberikan keleluasaan dalam beberapa hal. Contohnya dalam mengatur sumber daya manusia (SDM) dan penggunaan anggaran yang lebih fleksibel, tidak terikat dengan aturan maupun birokrasi pegawai negeri.
"Mau lembaga atau tidak, di bawah Presiden atau Menkeu, kami ingin punya keleluasaan, contohnya dalam mengatur SDM. Tidak terikat aturan pegawai negeri sehingga susah kalau mau kasih reward dan punishment, termasuk mau pecat pegawai," terangnya.
Belum lagi jika mau merekrut pegawai baru yang memiliki keahlian tertentu untuk menjawab tantangan baru. Arif mengaku, sangat sulit sekali. Andaipun bisa, tambahnya, para ahli tersebut harus berangkat dari level bawah.
"Kami kan butuh orang dengan keahlian atau bidang-bidang tertentu, misalnya IT. Kami tidak bisa rekrut langsung ada di level menengah, semua harus mulai dari pelaksana, lalu ke jenjang selanjutnya," keluhnya.
Sementara dalam penggunaan anggaran Badan Penerimaan Pajak, Arif mengaku, keleluasaan sangat penting. Ia mengungkapkan, DJP selama ini kesulitan bila ingin membuka kantor baru di daerah atau wilayah dengan potensial ekonomi cukup besar.
"Kalau mau buka kantor baru di daerah yang punya potensial ekonomi susah sekali terkait anggaran. Prosesnya panjang, dan saat panjang itulah ada potensial lost pajak karena kami terlambat hadir di daerah yang ekonominya sedang berkembang cepat," tegas Arif.
Terpisah Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pemerintah masih mendesain Badan Penerimaan Pajak supaya selaras dan konsisten dengan reformasi perpajakan yang sedang dijalankan. Badan ini tentu harus bisa melaksanakan fungsinya secara kredibel, bersih dari korupsi, dan efektif.
"Desain ini harus melihat kinerja historis DJP karena desain UU tidak bisa di copy dari negara lain, tapi harus melihat situasi Indonesia dan lingkungan seperti apa, dan saat mendesain tidak boleh lupakan faktor ini agar tidak salah," jelas Sri Mulyani.
Terkait hal ini, Sri Mulyani berharap Badan Penerimaan Pajak ini terbentuk secara kredibel, dihormati, memiliki reputasi baik, dan menjadi lembaga pemungutan pajak yang disegani masyarakat. "Juga dipercaya karena tidak akan mengkhianati nilai-nilai governance dan integritas," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, DJP menargetkan pengoperasian Badan Penerimaan Pajak di 2018. Nantinya, badan ini akan ‎terpisah dari Kemenkeu dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
"Ini akan beroperasi 1 Januari 2018‎. Nama badannya belum. Ini seperti lembaga pemerintah non kementerian, berada di bawah Presiden, bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi tetap melalui koordinasi dengan Kemkeu," ujar Mantan Direktur Peraturan Perpajakan I Irawan.
Irawan menjelaskan, dengan adanya badan baru tersebut, akan ada pemisahan antara fungsi kebijakan dan fungsi administrasi perpajakan. Dengan demikian diharapkan upaya pemerintah dalam menggenjot penerimaan pajak bisa maksimal.
"Ini akan dipisahkan, antara fungsi policy dan fungsi administrasi. dengan begitu, kapasitas DJP dalam melakukan pemeriksaan juga akan semakin luas," tandas dia. (Fik/Gdn)