Liputan6.com, Yogyakarta - Banyaknya limbah dan sampah kain perca yang terbuang di sekitar rumahnya, membuat Janu Riwayat (28) bersama almarhum kakaknya berpikir untuk memanfaatkan hal tersebut menjadi sesuatu hal yang bisa menghasilkan uang.
"Dulu jadi kerja sama saya dengan kakak, dan lihat di mana-mana deket rumah ada usaha modiste, batik, tapi limbahnya kok sayang banget, terbuang begitu saja, coba diolah yang bisa menghasilkan uang, kita olah saja, coba -coba dirangkai buat tas," kata Janu kepada Liputan6.com di rumahnya di Desa Karang, Singosaren,Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta.
Usaha tas kain perca yang diberi nama Aaya Batik Jogja yang didirikan pada 2011 dan hanya bermodalkan Rp 500.000 ini dalam sebulan bisa mencapai omzet minimal Rp 12 juta, ia bahkan pernah mengirim tas kreasinya hingga ke Honolulu dan Hawaii.
Advertisement
Baca Juga
"Alhamdulilah almarhum kakak saya orangnya tangguh, dan dengan modal yang hanya sedikit alhamdulilah bisa jalan sampai sekarang ya minimal Rp 12 juta ada per bulan. Dulu juga pernah sampai diekspor ke Hawai dan Honolulu," jelas dia.
Sejak kakaknya meninggal di akhir tahun 2012, pria kelahiran Bantul, 22 Januari 1988 itu kini memegang kendali penuh usaha tas kain perca ini dibantu dengan 10 orang pekerja. Meski tidak mengekspor lagi tas ke luar negeri, tapi tempat produksinya sering didatangi oleh wisatawan asing.
"Sekarang banyak orang asing yang beli, mampir ke rumah untuk beli, dan mereka pesan langsung, maunya berapa banyak terus dijual oleh mereka di negaranya. Kebanyakan yang datang ke sini dari Jerman sama Prancis, jadi sistemnya datang dan pesan langsung. Tapi kalau pemasaran dari kita sendiri biasanya ke Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Kalimantan," ujar dia.
Dalam berbisnis, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Daljiyo dan Mari ini bercerita, pastinya ada kendala yang dihadapi. Di antaranya persaingan dengan para perajin batik dan seringnya hasil kreasi dijiplak oleh orang lain sehingga sempat membuat dirinya depresi.
"Waktu dipegang sama kakak, ada pesaing antar perajin batik, misalnya kita buat model A, selang dua bulan dicontoh dan harganya dijatuhkan, itu sempat buat saya depresi, bingung ini bagaimana ke depannya. Apa bisa bangkit? Tapi kita cepat sadar lagi, jadi kita buat inovasi terus, kita bermain di kualitas, harga tinggi tapi kualitas bagus, daripada jiplak tapi kita tidak berkembang," kata Janu.
Tas perca kreasinya yang dijual dari harga Rp 20.000 hingga Rp 60.000, menurut penyuka lotek ini, semuanya merupakan hasil karya sendiri dan bukan jiplakan, jadi rata-rata orang yang memesan merasa puas dan sering balik lagi untuk pesan dan membeli kembali.
"Awalnya dulu sempat lihat dari majalah dan mencontoh, kemudian dibuat, tapi kok lama-lama malah lebih sulit, ya akhirnya inovasi sendiri, malah jadi semakin berkembang," ujar dia.
Untuk mempertahankan usahanya tersebut, pria yang hobi bersepeda ini mengatakan akan selalu berinovasi, selain karena pesan almarhum kakak yang memintanya untuk tetap meneruskan usaha, ia juga sudah siap dengan segala risiko yang bakal terjadi ke depan.
"Ya saya siap ambil risiko. Yang penting mental sama berinovasi terus, supaya tahan banting, jika ada persaingan itu sudah biasa di dunia bisnis, makanya kita harus lebih maju dan kita kalau bisa bikin lain daripada yang lain. Jadi saya pesan kalau ada yang mau mulai berbisnis, jangan pernah takut untuk ambil risiko. Kalau mau usaha harus fokus, tidak boleh setengah-setengah, " kata dia. (Dhita K/Ahm)