Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) terus melakukan upaya bersih-bersih dalam rangka pencegahan praktik pungutan liar (pungli) di instansinya, termasuk di pelabuhan sebagai tempat keluar masuk barang ekspor dan impor. Salah satu strateginya dengan mengandalkan sistem Pertukaran Data Elektronik (PDE) berbasis internet.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Bea Cukai, Robert Leonard Marbun, mengungkapkan pencegahan pungli ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghapuskan pungli di seluruh instansi pemerintahan.
“Diperintahkan kepada segenap jajaran di Bea Cukai untuk turut serta memerangi praktik pungli," tegasnya di Jakarta, seperti ditulis Jumat (21/10/2016).
Caranya, kata Marbun dengan ‎penggunaan sistem PDE. Selain memberikan kecepatan pelayanan karena memudahkan dan mengefisienkan waktu para importir, eksportir, dan pengguna jasa kepabeanan, sistem ini juga bertujuan untuk meminimalkan kontak fisik antara pengguna jasa dan petugas sehingga dapat mencegah adanya pungli.
Penerapan penyampaian dokumen dengan sistem PDE ini meliputi pemberitahuan manifest (BC.1.1), pemberitahuan impor barang (BC.2.0), dan pemberitahuan ekspor barang (BC.3.0).
Untuk bisa menggunakan sistem PDE, pengguna jasa kepabeanan perlu mendapatkan modul dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai dengan melampirkan dokumen pendukung.
Dokumen pendukung tersebut, meliputi, akte pendirian perusahaan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)/ Tanda Daftar Perusahaan (TDP), fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Angka Pengenal Importir (API), Nomor Identitas Kepabeanan (NIK), spesimen tanda tangan pimpinan perusahaan, dan kode aktivasi Electronic Data Interchange (EDI).
Ketua Umum Kadin Indonesia versi OSO, Eddy Ganefo sebelumnya berpendapat, dua tahun pemerintahan Jokowi-JK masih banyak kelemahan menyangkut reformasi sumber daya manusia, terutama di daerah.
"Sikap mental aparatur atau pejabat di daerah masih parah sekali. Jadi percuma, sistem tidak jalan karena mental orangnya kurang bagus, pungutan liar masih tinggi, bukan langsung ke mereka, tapi melalui pihak ketiga," paparnya.
‎Hal ini, kata Eddy, membuat peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis tertinggal jauh dari Singapura. Akibatnya, pertumbuhan pengusaha kecil terhambat dan perekonomian nasional tumbuh melambat.
"Kuncinya perbaikan sikap mental pejabat, khususnya di daerah karena kalau di pusat sudah mulai membaik lewat gebrakan-gebrakan sehingga di Kementerian/Lembaga mulai takut. Tapi di daerah masih sangat parah," dia menandaskan.(Fik/Nrm)