Sukses

Penyederhanaan Izin Rumah Rakyat Perlu Dibarengi Sanksi

Sejumlah kebijakan pemerintah pusat yang diterbitkan untuk mendukung industri properti masih sulit direalisasikan di daerah.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah kebijakan pemerintah pusat yang diterbitkan untuk mendukung industri properti masih sulit direalisasikan di daerah. Salah satunya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 13 yang diharapkan merangsang pembangunan rumah rakyat dengan memangkas sebagian izin untuk membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi justru terkesan diabaikan daerah.

Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Banten, Soelaeman Soemawinata mengatakan, suka atau tidak suka terobosan bagus yang sudah dilakukan pemerintah hingga kini banyak yang belum dapat diterapkan di daerah. Hal itu disebabkan prinsip kerja di pusat dan daerah berbeda, sehingga perlu ada sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah.

“Pemerintah daerah itu berprinsip pada peraturan daerah (perda). Jadi yang perlu dikawal penyusunan perda-perda ini di daerah, mungkin REI harus masuk lewat Kemendagri. Ini yang perlu di-endorse, karena kalau tidak akan sulit diimplementasikan,” ujar Soelaeman kepada Liputan6.com, Selasa (1/11/2016).

Sebelumnya, saat acara sosialisasi di depan ratusan anggota REI di Bali, Soelaeman juga menegaskan perlunya adanya sanksi kepada daerah-daerah yang tidak membuat Perda penyederhanaan perizinan pembangunan rumah rakyat untuk memastikan Paket Kebijakan Ekonomi  Jilid 13 berjalan.

REI Banten yang juga terlibat dalam tim perizinan nasional yang dibentuk DPP REI menilai paksaan untuk menyusun perda penting, karena daerah hanya takut dan kerap mengacu pada peraturan daerah.

Kebijakan lain yang butuh diperjuangkan terus agar dapat segera dapat dirasakan manfaatnya di lapangan adalah PP No 34/2016 yang meminta gubernur, bupati atau walikota melakukan perubahan Perda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) untuk perolehan atau pembelian Tanah dan Bangunan dari sebesar 5 persen menjadi 2,5 persen.

“Penurunan tarif BPHTB menjadi 2,5 persen ini sangat layak diperjuangkan. REI harus mendorong terus agar daerah-daerah mau melakukan ketentuan tersebut,” papar Eman.

Dia menduga ada kontra pandangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyikapi penurunan BPHTB. Di satu sisi pusat mendorong agar masyarakat berpenghasilan rendah terbantu, namun pemda melihat BPHTB sebagai income bagi daerah.

Oleh karena itu, saat beberapa kali bertemu kepala daerah Eman memberikan pengertian bahwa dengan turunnya tarif BPHTB akan mendorong industri properti bertumbuh. Kalau itu terjadi, maka implikasinya akan meningkat pendapatan daerah yang lain.

“Penurunan income itu hanya bersifat sementara, namun dalam jangka panjang baru akan dirasakan daerah,” ujar alumnus jurusan Teknik Planologi ITB tersebut. (Rinaldi/Gdn)