Sukses

‎Inflasi DKI Jakarta Lebih Tinggi dari Nasional, Ini Penyebabnya

Kenaikan harga bahan bakar rumah tangga, tarif listrik dan tarif KRL ini pula yang menjadi faktor penyebab lebih tingginya inflasi.

Liputan6.com, Jakarta - Pada bulan Oktober 2016 tren penurunan inflasi di Jakarta tertahan oleh penyesuaian harga sejumlah komoditas yang tergolong dalam kelompok ‎administered prices (komoditas yang harganya ditentukan oleh pemerintah). Inflasi bulan Oktober 2016 tercatat sebesar 0,25 persen (mtm), lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,18 persen (mtm), dan juga inflasi nasional (0,14% mtm).

Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi DKI Jakarta, Doni P Joewono menjelaskan, meningkatnya inflasi pada bulan Oktober 2016 terutama dipicu oleh penyesuaian beberapa harga komoditas administered prices, seperti tarif listrik, bahan bakar rumah tangga dan tarif kereta api.

Faktor pemicu meningkatnya inflasi administered prices antara lain kenaikan bahan bakar rumah tangga sebesar 4,71 persen dan naiknya tarif listrik sebesar 2,20 persen (mtm), terkait dengan kebijakan kenaikan tarif 12 golongan listrik non subsidi.

Selain itu, kenaikan cukai rokok secara bertahap sejak awal tahun, serta tarif KRL ‎Commuter Line yang berdampak pada inflasi angkutan kereta sebesar 6,26 persen (mtm), juga turut menyumbang kenaikan kelompok inflasi administered prices.

"Kenaikan harga bahan bakar rumah tangga, tarif listrik dan tarif KRL ini pula yang menjadi faktor penyebab lebih tingginya inflasi Jakarta dibandingkan dengan inflasi nasional," kata Doni , Rabu (2/11/2016).‎ Walau demikian, Doni menambahkan, tekanan inflasi Jakarta hingga bulan ke-10 tahun 2016 relatif masih terkendali.

Hal itu tercermin dari capaian inflasi kumulatif hingga Oktober 2016 yang baru mencapai 1,85 persen (ytd), lebih rendah dari inflasi nasional 2,11 persen (ytd), dan jauh lebih rendah dari rata-rata lima tahun terakhir yang tercatat sebesar 4,06 persen (ytd).

Hal itu tidak terlepas dari pergerakan inflasi kelompok volatile food dan kelompok inti yang stabil, bahkan cenderung menurun.

Kelompok volatile food pada bulan Oktober kembali mencatat deflasi. Deflasi terutama bersumber dari turunnya harga daging dan hasil-hasilnya, serta bumbu-bumbuan. Daging ayam ras mengalami deflasi sebesar 2,86 persen (mtm), diikuti dengan harga telur ayam ras yang juga mencatat deflasi sebesar 3,06  persen (mtm).

Stok yang terjaga dan harga pakan ternak yang stabil menjadi sumber turunnya harga kedua komoditas tersebut. Dari sub kelompok bumbu-bumbuan, harga bawang merah mengalami deflasi sebesar 4,57 persen (mtm), seiring panen raya di daerah sentra produksi antara lain Brebes, di tengah kenaikan harga cabai merah akibat hujan yang berkepanjangan di daerah sentra produksi.

Adapun harga beras saat ini masih relatif stabil dengan kecenderungan turun. Manajemen stok yang sudah lebih baik serta perbaikan rantai pasokan beras di DKI Jakarta melalui optimalisasi BUMD pangan DKI Jakarta, mampu menahan gejolak yang berlebih di Ibukota. (Yas/Gdn)