Sukses

RI Masuk 5 Besar Terendah dalam Penanganan Perdagangan Ilegal

Di kawasan Asia, Hong Kong menjadi negara paling berkomitmen mengatasi perdagangan ilegal disusul Jepang.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia harus serius memberantas perdagangan ilegal. Sebab mengacu laporan terbaru Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia termasuk di posisi terbawah dengan menempati peringkat 14 dari 17 Negara dalam penanggulangan perdagangan ilegal (illicit trade).

Bahkan posisi Indonesia masih kalah dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Dalam laporan bertajuk The Illicit Trade Environment Index mengutip laman illicittradeindex.eiu.com, Kamis (3/11/2016), EIU mengaudit empat kategori, yakni kekayaan intelektual, transparansi dan perdagangan, bea cukai serta supply and demand.

"Perdagangan gelap menimbulkan ancaman bagi kesehatan masyarakat, lingkungan, dan inovasi, serta menyediakan dana untuk jaringan kejahatan transnasional serta organisasi teroris," ujar Chris Clague, salah satu penulis dari laporan.

Ketua Komite Hak Kekayaan Intelektual Eurocham, Simon Jim, sependapat dengan Chris. Menurut dia, barang ilegal tidak hanya mengambil pendapatan perusahaan atau pemerintah, namun juga mengancam keamanan negara dengan mendukung sindikat kejahatan transnasional dan kelompok teroris.

Di kawasan Asia, Hong Kong menjadi negara paling berkomitmen mengatasi perdagangan ilegal dengan poin 81,4 disusul Jepang (75,9). Dalam indeks tersebut, Indonesia berada di salah satu posisi terendah (46,1) di atas Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Sementara secara keseluruhan dari 17 negara, Australia menjadi negara yang paling komitmen mengatasi perdagangan ilegal dengan peringkat pertama, memiliki poin 85,2. Kemudian diikuti New Zealand dengan poin 81,8.

Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa Hak kekayaan Intelektual dan Bea Cukai merupakan dua indikator terlemah bagi Indonesia.

Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, hasil penelitian tersebut harus ditanggapi dengan serius.

Menyoroti indeks EIU yang mengungkapkan Bea Cukai sebagai salah satu indikator terlemah bagi Indonesia, Hikmahanto mengungkapkan, ini menunjukkan kelemahan bea cukai dalam melakukan pengawasan dan pencegahan masuknya barang impor ilegal ke dalam negeri.

"Jika Pemerintah membiarkan hal ini terus berlangsung, yang sebenarnya diuntungkan hanyalah para kriminal yang melakukan kegiatan tersebut.”

Hikmahanto menambahkan, selain upaya pengawasan salah satu kunci dari penanganan perdagangan gelap di Indonesia adalah perlunya dilakukan perubahan dari mekanisme bea cukai dalam melakukan penegakan hukum,

“Aturan sebenarnya sudah cukup baik, tapi letak masalahnya ada pada penegakannya, karena tidak selalu sanksi yang diberikan adalah harus sanksi Pidana, dimana melalui jalur ini akan mempermudah mereka (pelaku) untuk membayar penegak hukum. Mungkin bisa diubah mekanismenya, seperti misalnya dengan pemberian ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan,“ tegas dia.

Sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo untuk menghentikan penyelundupan dan peredaran barang ilegal, Bea Cukai meningkatkan kinerja unit penindakan dan mengoptimalkan pengawasan laut.

Penindakan yang berhasil dilakukan Bea Cukai sepanjang tahun 2015 melesat ke angka 10.009 kasus atau meningkat 50,7 persen dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 6.640 kasus.