Liputan6.com, Jakarta - Membaiknya neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat dan tren penurunan suku bunga ternyata belum memberikan sumbangsih besar terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2016.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,02 persen pada periode Juli-September, dibandingkan periode sama tahun lalu. Pencapaian ini bahkan lebih rendah dari kuartal kedua yang tumbuh 5,19 persen secara tahunan.
"Kebijakan pemerintah memotong anggaran pada kuartal tiga, sebelum didapatkannya pendapatan tambahan dari tax amnesty memberikan sedikit perlambatan pada perekonomian," kata Ekonom PT Bahana Securities Fakhrul Fulvian, Senin (7/11/201).
"Ke depan, akselerasi belanja pemerintah menjadi sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," tambah Fakhrul.
Baca Juga
Investasi hanya tumbuh 4,06 persen secara tahunan, dibandingkan kuartal II yang tumbuh sebesar 5,06 persen. Belanja pemerintah turun sebesar 2,97 persen secara tahunan, dibandingkan kuartal II yang tumbuh 6,23 persen secara tahunan. Sedangkan pertumbuhan ekspor turun 6 persen dari tahun lalu.
"Kami melihat dampak dari penguatan nilai tukar rupiah dan harga komoditas yang mulai membaik belum terefleksi pada data GDP kuartal 3, namun akan terlihat pada pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal ke depan. Karena hal ini akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat yang tercermin pada tingkat konsumsi," jelas Fakhrul.
Konsumsi masyarakat pada kuartal III tumbuh sebesar 5,01 persen dari tahun lalu, relatif stabil degan pertumbuhan kuartal II yang tumbuh sebesar 5,06 persen Year on Year (YoY). Â
Konsumsi masyarakat masih menjadi kontributor terbesar terhadap PDB, namun belum mampu menutupi penurunan konsumsi pemerintah yang memangkas anggaran belanja sebesar Rp 133.8 triliun dalam APBN-P 2016.
Bahana Securities memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuhan sebesar 5,4 persen pada 2017. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh pelonggaran moneter yang masih terbuka hingga tahun depan serta harga komoditas yang membaik akan memberi dampak positif terhadap kinerja ekspor.
Sementara itu dari sisi investasi, Indonesia masih menjadi pasar yang menjanjikan bagi investor, apalagi pemerintah masih terus berupaya untuk memperbaiki iklim investasi.
Lihat saja pada pertengahan tahun ini, pemerintah sudah mengeluarkan revisi Daftar Negatif Investasi, serta kementerian perekonomian sudah memberikan rumusan baru untuk penentuan upah minimum regional, sehingga investor sudah memiliki kepastian untuk menghitung kenaikan upah buruh di Indonesia.
Apalagi akhir Oktober lalu, lembaga Bank Dunia menaikkan peringkat ease of doing business sebanyak 11 peringkat ke level 109 dari yang sebelumnya Indonesia berada di level 120. Hal ini menunjukkan pemerintah konsisten memperbaiki daya saing di dalam negeri.
"Saat ini rata-rata penduduk Indonesia berusia 29 tahun, dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,6 persen per tahun, data ini menjadi sweetener bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia karena ini artinya tingkat konsumsi masyarakat masih tinggi," jelas Fakhrul. (Ahm/Ndw)
Advertisement