Sukses

Laba Pertamina Kalahkan Raksasa Minyak Dunia

Pertamina mencetak laba US$ 2,83 miliar hingga kuartal III 2016 atau naik 209 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak masih belum bisa bangkit dari keterpurukan sepanjang tahun ini. Dua tahun lalu, harga minyak mampu berada di kisaran US$ 100 per barel. Sedangkan tahun ini, harga minyak tak mampu beranjak di atas US$ 50 per barel. 
 
Menariknya, beberapa perusahaan minyak dan gas mampu bertahan di tengah keterpurukan harga minyak. Salah satu contohnya adalah PT Pertamina (Persero). 
 
Sepanjang Januari-September 2016 , laba Pertamina mencapai US$ 2,83 miliar atau naik 209 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat US$ ‎1,42 miliar.
 
"Laba operasi meningkat dari kuartal III 2015 US$ 3,92 miliar menjadi US$ 5 miliar pada kuartal III 2016. Sama halnya dengan laba bersih, sampai saat ini laba kita mencapai US$ 2,83 miliar," ungkap Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman, seperti ditulis Jumat (11/11/2016). 
 
Kenaikan laba bersih tersebut disebabkan oleh keberhasilan Pertamina dalam penghematan. Sampai kuartal III 2016, tercatat penghematan yang mampu dilakukan oleh Pertamina mencapai 1,64 miliar. Angka tersebut sesuai dengan target sampai akhir 2016.
 
Perolehan laba perusahaan BUMN ini di atas perolehan laba beberapa perusahaan minyak dan gas internasional. Exxon Mobil Corp yang merupakan perusahaan migas asal Texas, Amerika Serikat (AS), membukukan laba bersih US$ 2,65 miliar. 
 
Dikutip dari laporan keuangan perseroan, laba Exxon Mobil tersebut merosot jauh jika dibandingkan dengan perolehan pada periode yang sama tahun lalu. Tercatat, pada kuartal III 2015, laba Exxon Mobil di angka US$ 4,24 miliar. 
 
Khusus untuk kuartal III 2016, Exxon Mobil mampu membukukan laba US$ 620 juta, turun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat US$ 1,35 miliar. 
 
Berikutnya adalah BP Global. Perusahaan minyak asal Inggris ini mampu membukukan laba US$ 1,62 miliar pada kuartal III 2016 (Juli-September). Namun untuk periode Januari-September 2016, perseroan masih merugi US$ 382 juta. Kenaikan laba di kuartal III 2016, belum bisa menutupi kerugian sepanjang semester I yang mencapai US$ 2,002 miliar
 
Sedangkan Chevron membukukan laba US$ 1,28 miliar khusus untuk kuartal III 2016. Laba tersebut turun jika dibandingkan dengan tahun lalu yang berada di angka US$ 2,03 miliar. 
 
Sedangkan untuk periode sembilan bulan pertama di 2016, Chevron justru membukukan rugi US$ 912 juta. Untuk periode yang sama tahun kemarin, perusahaan ini mampu membukukan laba US$ 5,17 miliar. 

Total dan Shell

 
Total SA cukup beruntung seperti Pertamina. Perusahaan asal Perancis ini mampu membukukan laba US$ 1,98 miliar pada kuartal III 2016. Sedangkan periode yang sama tahun lalu, Total SA membukukan laba US$ 1,07 miliar. Laba tersebut naik sekitar 81 persen. 
 
Sedangkan untuk periode 9 bulan, Total SA mampu membukukan laba US$ 5,64 miliar, turun jika dibandingkan dengan 9 bulan pertama untuk tahun 2015 yang tercatat US$ 6,71 miliar. 
 
Perusahaan lain yang juga mereguk untung adalah Royal Dutch Shell.  Raksasa minyak asal Belanda ini mengantongi untung US$ 3,03 miliar dalam 9 bulan pertama 2016, sedangkan khusus untuk periode Juli-September 2016, Shell mengantongi laba US$ 1,375 miliar.
 
Sepanjang tahun ini, hanya Shell dan Pertamina yang bisa menikmati kenaikan laba bersih di tengah anjloknya harga minyak dunia.

Berdasarkan data yang dirangkum dari laporan keuangan, berikut perbandingan laba bersih perusahaan minyak raksasa periode Januari-September 2016:

1. Total US$ 5,64 miliar,  turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 6,71 miliar (year on year/yoy).

2. Shell  US$ 3,03 miliar, naik dari periode yang sama tahun lalu US$ 1,00 miliar.

3. Pertamina US$ 2,83 miliar, naik dari periode yang sama tahun lalu US$ 1,42 miliar.

4. Exxon US$ 2,65 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 4,24 miliar.

5. BP ( - US$ 382 juta), turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 3,17 miliar.

6. Chevron (- US$ 912 juta), turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 5,17 miliar.

Video Terkini