Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) periode 2013-2014, Chatib Basri berkisah di depan dua punggawa keuangan, Boediono dan Sri Mulyani Indrawati mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan perekonomian di dua tahun terakhir era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa, Chatib mengaku sebagai orang yang beruntung karena harus berhadapan dengan keputusan paling krusial, yakni menaikkan harga BBM pada 2013.
"Saya termasuk orang yang beruntung. Satu atau dua hari setelah diangkat Menkeu, saya harus datang ke DPR untuk menyampaikan kenaikan harga BBM," ujarnya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Advertisement
Beruntung, kata Chatib, sudah mengikuti proses kenaikan harga BBM yang pernah dilakukan Sri Mulyani saat jadi Menkeu di periode 2005 dan 2008 saat menghadapi krisis ekonomi global. Karena pengalamannya, dia mengetahui pola yang harus dilakukan saat menerapkan penyesuaian harga BBM dan kompensasinya.
"Ini complicated, karena BBM harus baik tapi Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak dimungkinkan karena tidak populer lantaran dianggap ada unsur money politic. Jadi saat itu sulit, mau naikkan harga BBM tanpa kompensasi," terangnya.
Sambungnya, ada ide kala itu membuat konsep dua harga. Untuk mobil plat hitam harus membayar BBM dengan harga pasar, sementara plat kuning bisa membeli BBM dengan harga subsidi. Namun rencana itu gagal diterapkan, karena sulit menjalankannya.
Baca Juga
"Harga BBM harus naik di 2013 bukan karena harga minyak dunia tinggi, tapi juga saat itu ada Quantitatve Easing, banyak modal masuk, ekonomi RI kuat, booming komoditas, dan Indonesia merasa cukup kuat," Chatib Basri menjelaskan.
Sebenarnya, dia bilang, harga BBM harus naik pada 2011, kemudian dicoba diajukan pada 2012 tapi ditolak DPR. Kenaikan harga BBM di 2013, menurut Chatib sangat terlambat.
"Proses paling rumit di DPR adalah datang ke DPR bukan minta persetujuan mau naikkan harga BBM, tapi untuk minta restu kompensasi. Di sinilah problem politik muncul, bahkan partai oposisi PDI-P ingin membuat APBN tandingan sampai mau di vote di Sidang Paripurna," terangnya.
Bersyukur, kata dia, dalam Undang-undang Dasar 1945, aturan merencanakan anggaran negara dilakukan pemerintah dan DPR menyetujuinya. Jika DPR yang mengajukan anggaran negara, itu artinya melanggar konstitusional.
Pada saat yang bersamaan, lanjut Chatib, The Fed harus mengakhiri QE sehingga berdampak pada kejatuhan kurs rupiah. Ketidakpastian politik semakin tinggi, sehingga pemerintah harus mempercepat kenaikan harga BBM.
"Saya ingat harga BBM Juni naik hanya seminggu setelah DPR menyetujui APBN baru. Dalam waktu seminggu pula, dana kompensasi saya minta sudah harus ada di tangan penerima, karena tidak mungkin menunggu lagi karena situasi taper tentrum (efek kebijakan moneter di AS)," Chatib mengatakan.
Dia mengaku, Indonesia menjadi korban dari kesuksesan Sri Mulyani yang berhasil mendorong perekonomian nasional lebih kuat dan bertumbuh tinggi. Sayangnya, struktur ekonomi tidak mampu mendukung, sehingga defisit transaksi berjalan membengkak jadi 4,4 persen di 2014. Dengan begitu, pemerintah harus melakukan penyesuaian anggaran.
Menurutnya, pemerintah harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan memilih stabilitas makro. Chatib berupaya meyakinkan di kabinet pemerintahan harus mendukung Bank Indonesia dengan menaikkan BI Rate satu tahun sebelum pemilu.
"Kalau defisit transaksi berjalan tinggi, bujet dipotong, suku bunga acuan BI dinaikkan, kurs rupiah dilepas. Walhasil dalam 6 bulan, India dan Indonesia bisa menstabilisasi pasarnya. Kita bisa keluar dari Fragile Five," jelas Chatib Basri. (Fik/Gdn)