Sukses

Keputusan OPEC Pangkas Produksi Tak Jamin Perbaiki Harga

Harga minyak dunia melonjak 9,6 persen ke level US$ 49,44 per barel pada perdagangan Rabu waktu New York.

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi negara eksportir minyak (Organization of Petroleum Eksportir Countries/OPEC) telah memutuskan memangkas produksi minyak 1,2 juta barel per hari untuk memperbaiki harga minyak dunia.

Direktur Eksekutif RefoMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, keputusan tersebut langsung berpengaruh  pada pergerakan harga minyak dunia.

Pada perdagangan waktu New York, Amerika Serikat (AS), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari naik US$ 4,21 menjadi US$ 49,44 per barel. Harga minyak WTI naik 9,6 persen. Pada awal perdagangan sempat naik 10 persen, terbesar sejak Februari.

Sedangkan harga minyak Brent untuk pengiriman Januari melonjak US$ 4,09 per barel atau 8,82 persen menjadi US$ 50,47 per barel. Kontrak itu sudah tak berlaku pada Rabu waktu setempat. Harga minyak kontrak Februari naik 8,9 persen menjadi US$ 51,51.

‎"Prinsip market respons postif mulai naik," kata Komaidi, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Kamis (1/12/2016).

Namun menurut Komaidi, keputusan pemangkasan tersebut tidak bisa menj‎amin perbaikan harga minyak dunia dalam jangka panjang. Lantaran harga minyak sangat dipengaruhi oleh pasokan dan permintaan. Jika permintaan terus menurun pasokan tetap melimpah.

"Tapi untuk lama masih perlu dilihat, karena perlu dilihat harga minyak tergantung dua aspek permintaan dan pasokan," tutur Komaidi.

Komaidin menilai keputusan Indonesia yang dilatarbelakangi  oleh kesepakatan pemotongan produksi minyak lima persen ‎atau 37 ribu barel, dalam sidang OPEC sudah tepat. "Ini latar belakangnya OPEC memutuskan pengurangan produksi," ujar Komaidi.

Komaidi menuturkan, pengurangan produksi bagi Indonesia merupakan hal berat yang dilakukan. Itu mengingat produksi minyak Indonesia terus menurun. Indonesia tengah menggenjot produksi untuk memenuhi kebutuhan dan mengurangi impor.

"Sebagai member  mengurangi produksi dalam kondisi sekarang keputusan terlalu berat bagi Indonesia. Dilihat dari aspek itu saya memahami," tutur Komaidi.