Liputan6.com, Jakarta - Produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia masih terus mendapatkan kampanye negatif di dunia, khususnya di kawasan Uni Eropa. Kampanye negatif ini lantaran adanya kepentingan penjualan produk minyak nabati lain selain CPO.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan,‎ saat ini kontribusi CPO terhadap pasar minyak nabati dunia sebesar 20 persen. Angka ini meningkat dibandingkan pada 1990-an yang sebesar 16 persen.
"Di pasar minyak nabati global, share CPO ini mencapai 20,9 persen. Di tahun 1990 hanya 16 persen. Setiap tahun dibutuhkan 5 juta ton per tahun (minyak nabati),"‎ ujar dia di Hotel Bidakara, Selasa (6/12/2016).
Baca Juga
Namun peningkatan share tersebut yang membuat CPO 'dimusuhi' oleh berbagai negara. Sebab negara lain memiliki komoditas lain yang juga diolah menjadi minyak nabati. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki kedelai yang diolah menjadi soybean, serta Kanada dan sebagian negara Eropa memproduksi minyak kanola atau rapeseed.
"Amerika punya kedelai,‎ kemudian Kanada dan Eropa punya rapeseed‎. Itu sebabnya CPO diserang habis-habisan," kata dia.
Selain itu, produk CPO juga memiliki keunggulan dalam efisiensi lahan pertanian. Untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati sebesar 5 juta ton per tahun, jika dipenuhi dari CPO hanya dibutuhkan lahan baru sekitar 15,5 juta hektar (ha). Sedangkan jika menggunakan ‎minyak soybean membutuhkan lahan sekitar 115 juta ha.
"5 juta ton per tahun Kalau dipenuhi dari kedelai itu dibutuhkan lahan 115 juta ha dalam waktu hingga 2025. Sawit cukup butuh 15,5 juta ha. Kalau ada Presiden yang konsern pada deforestasi, untuk penuhi kebutuhan itu ya pilihannya pada kelapa sawit, tapi sayangnya tidak ada‎," ujar dia.
Advertisement