Sukses

Menkumham: Ada Investor Asing yang Tak Punya Etika Baik

Yasonna memperingatkan kepada investor asing yang ada di Indonesia untuk tidak main-main dengan komitmen pemerintah Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengungkapkan ada beberapa investor asing yang ingin masuk ke Indonesia bukan untuk tujuan investasi.

Yasonna menjelaskan, ada beberapa investor asing yang masuk ke Indonesia hanya untuk membuat sengketa dan menggugatnya ke badan arbitrase internasional. Dari gugatan tersebut‎ investor tersebut mencari keuntungan.

"Ada juga investor yang beretikat tidak baik. Belum selesai realisasi investasi, digugat, memanfaatkan situasi. Ini karena kita dinilai tidak berpengalaman di guggatan internasional," papar Yasonna di kantornya, Kamis (8/12/2016).

Yasonna mengakui, dari beberapa kasus gugatan di tingkat internasional memang Indonesia seringkali mengalami kekalahan. Namun tidak untuk kali ini.

Untuk diketahui, Indonesia memenangkan gugatan arbitrase internasional perusahaan tambang batu bara asal Inggris‎, Churchill Mining. Kemenangan gugatan ini diputuskan Badan Penyelesaian Sengketa Investasi Internasional (ICSID) pada 6 Desember 2016.

"Pada 6 Desember kita memenangkan gugatan. Ini jadi pertama kalinya Indonesia memenangkan gugatan arbitrase internasional yang kita juga mendapat dana kompensasi," kata Yasonna.

Dalam kasus ini, sebenarnya ada pilihan penyelesaian gugatan. Hanya saja Indonesia harus membayar Rp 5 triliun. Di sisi lain, jika Indonesia kalah dalam gugatan ini, Indonesia wajib membayar Rp 26 triliun.

Dia mengungkapkan, dengan kemenangan gugatan arbitrase tersebut maka Indonesia mendapatkan dana kompensasi sebesar US$ 8,‎6 juta atau setara Rp 114,3 miliar.

Sebenarnya Indonesia pernah memenangkan‎ gugatan arbitrase terkait Newmont, hanya saja saat itu Indonesia tidak mendapatkan dana kompensasi.

"Untuk menyelesaikan kasus ini yang sebenarnya sejak 2012, kita sudah keluarkan dana hampir Rp 100 miliar‎, tapi dalam kasus ini kita dapat gantinya dari dana kompensasi yang harus dibayar pengugat itu," tegas Yasonna.

Dengan kemenangan gugatan ini, Yasonna juga memperingatkan kepada investor asing yang ada di Indonesia untuk tidak main-main dengan komitmen pemerintah Indonesia.

‎Churchill mendaftarkan sengketa ini ke badan arbitrase sejak 22 Mei 2012. Setelah permohonan dikabulkan dan terdaftar, langkah berikutnya badan arbitrase memilih tiga orang sebagai majelis arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.

Kasus Churchill Mining telah memasuki ranah hukum sejak 2010. Saat itu, Churchill memasukkan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Samarinda atas surat pembatalan izin usaha pertambangan, yang dikeluarkan Bupati Isran Noor. Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Samarinda memutuskan pembatalan izin tersebut sudah sesuai prosedur.

Tidak terima dengan putusan itu, Churchill pun mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada Agustus 2011. Putusan pengadilan tinggi ini pun masih serupa dengan putusan sebelumnya, begitu pula dengan proses kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Obyek sengketa adalah area konsesi seluas 35 ribu hektare di Kecamatan Busang, Muara Wahau, Telen, dan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Lahan itu sebelumnya dikuasai Grup Nusantara, yang berakhir pada 2006-2007. Setelah itu, lahan dikuasai PT Ridlatama yang kemudian diakuisisi Churchill. (Yas/Gdn)