Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah menegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah memberikan perintah untuk menghentikan operasi Pabrik Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah (Semen Rembang). Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo telah mengeluarkan izin lingkungan dan izin operasi pabrik semen tersebut.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah Agus Riyanto mengatakan, jika ada perintah Presiden, pasti Pemerintah Provinsi Jawa Tengah akan menindaklajutinya. Namun, Ganjar justru menerbitkan izin lingkungan dan operasi kepada PT Semen Indonesia pada 9 November lalu.
Demikian dijelaskan Kepala Agus, di Semarang, ditulis Sabtu (10/12/2016), menanggapi munculnya anggapan bahwa Presiden telah menginstruksikan agar pabrik semen tidak beroperasi dulu.
Advertisement
Baca Juga
"Tidak pernah ada perintah, (atau) instruksi Presiden kepada kami untuk meminta penghentian pabrik semen. Kami tidak pernah terima surat keputusan apapun, pak Ganjar juga tidak pernah sampaikan soal itu. Malah saya belum pernah mendengarnya sama sekali," ujar Agus.
Agus menuturkan, jika anggapan yang dimaksud sebab Presiden mengarahkan dibentuknya tim Kajian Lingkungan Hidup Sementara (KLHS) untuk melakukan studi kelayakan Pegunungan Kendeng sebagai areal penambangan, hal tersebut bukanlah bentuk moratorium.
"Patut dicermati, tim KLHS itu beda arah tujuannya dengan penerbitan izin lingkungan atas nama PT Semen Indonesia di Rembang. Mereka silahkan bekerja meneliti Pegunungan Kendeng, tapi tidak membatasi apalagi sampai menghentikan pabrik semen," ucap Agus.
Berdasarkan itu, maka tim KLHS tetap bisa bekerja untuk Pegunungan Kendeng secara luas, namun tidak mencakup polemik Semen Rembang. Menurut Agus, apa yang dikerjakan tim KLHS tidak akan menganggu Semen Rembang sebab itu bukanlah tugasnya.
"Tim KLHS itu dibentuk bukan ditugaskan untuk mengkaji masalah Semen Rembang. Mereka tugasnya melakukan studi kelayakan Pegunungan Kendeng, mana saja arealnya yang bisa ditambang. Lagipula hasil kerja tim KLHS sifatnya hanya bisa rekomendasi saja," ucap Agus.
Dia juga menegaskan, kinerja yang dilakukan tim KLHS berbeda dengan keputusan penerbitan izin lingkungan untuk Semen Rembang. Agus menyatakan, kinerja tim KLHS merupakan bagian tataran kebijakan, sedangkan persoalan Semen Rembang masuk ke sektor industri.
Polemik Semen Rembang bermula ketika Mahkamah Agung mengabulkan gugatan izin lingkungan kegiatan penambangan PT Semen Gresik pada 5 Oktober lalu yang diajukan sekelompok orang. Sebelumnya, permohonan yang sama di PTUN Semarang dan PTUN Surabaya ditolak oleh majelis hakim.
Berdasarkan situs resmi MA, gugatan tersebut diputus pada tanggal 5 Oktober 2016 lalu. Amar putusan mengabulkan gugatan dan membatalkan obyek sengketa.
Obyek sengketa yang dimaksud ialah izin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia di pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, tertanggal 7 Juni 2012.
Sengketa antara warga Rembang, Jawa Tengah dengan PT Semen Indonesia dimulai sejak 16 Juni 2014 lalu. Saat itu PT Semen Indonesia mulai meletakkan batu pertama pembangunan pabrik. Para petani menolak keras pembangunan pabrik semen di wilayah Rembang karena memiliki efek yang merugikan.
"Konflik ini sudah lama berlangsung, sejak peletakan batu pertama diletakkan pada tahun 2014, kami dan teman-teman mulai mendirikan tenda di depan pintu masuk pabrik," ujar warga Rembang, Joko saat sedang melakukan aksi di depan Istana Merdeka, Rabu, 13 April 2016.
Dalam aksi itu, sembilan perempuan petani Rembang melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana. Kesembilan perempuan itu adalah Supini, Surani, Rieb Ambarwati, Deni, Ngadinah, Sukinah, Karsupi, Murtini dan Surani. Lewat upaya itu, para petani diterima oleh pihak istana untuk menyampaikan persoalan yang mereka hadapi.
Kini, pabrik Semen Indonesia di Rembang telah merampungkan pembangunannya mencapai 97 persen dan siap beroperasi tahun 2017. Pabrik Semen Rembang menelan biaya investasi sebanyak Rp 4,97 triliun serta mampu beroperasi 3 juta ton setiap tahunnya.
(Zul/Ndw)