Sukses

Tak Serius Kembangkan EBT, RI Bakal Defisit Energi di 2025

Penggunaan energi baru dan terbarukan masih sangat rendah sementara krisis energi fosil sudah di depan mata.

Liputan6.com, Jakarta - Besarnya jumlah penduduk, dan tingkat konsumsi energi yang tinggi mengancam energi Indonesia jika tidak disikapi dengan bijak. Padahal, potensi energi baru terbarukan (EBT), seperti angin, surya, atau panas bumi sangat berlimpah.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Sonny Keraf menegaskan, pengembangan EBT menjadi keharusan agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energi. Tujuannya agar mampu bertahan, dan berdaulat.

“Kedaulatan energi bicara penggunaan semaksimal mungkin sumber daya dalam negeri. Konsekuensinya, kita harus mengutamakan EBT, ini sebuah keharusan. EBT harus dikembangkan secara serius dan prioritas,” ujar Sonny dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (13/12/2016).

Mantan menteri negara lingkungan hidup di era Presiden Abdurahman Wahid ini mengatakan, penggunaan EBT masih sangat rendah sementara krisis energi fosil sudah di depan mata. Jika tidak ada terobosan berarti di sektor energi, bukan tidak mungkin pada 2025 Indonesia mengalami defisit energi, baik listrik dan bahan bakar minyak secara signifikan.

“Secara konservatif, potensi energi baru digunakan sebesar 1 persen dari total 801,2 gigawatt (GW). Ke depan, impor energi harus dikurangi,” kata dia.

Visi Indonesia mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi sebenarnya telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Namun, EBT punya tantangan yang mesti mendapat perhatian dan keberanian dari pemangku kebijakan.

Dikatakan Sonny, biaya EBT masih lebih mahal daripada energi fosil karena pemerintah terlambat mengembangkannya. Teknologi juga masih harus impor, sehingga butuh persiapan agar sumber daya manusia (SDM) berkompeten.

Kepala Badan Litbang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sutijastoto mengatakan, kecenderungan target lifting minyak bumi sering tidak tercapai. Dengan begitu EBT menjadi harapan besar negara untuk segera dikembangkan.

“Yang bisa diharapkan adalah energi baru, tapi jika lihat perkembangannya, masih sulit. Panas bumi targetnya 5.000 megawatt (MW) tapi kenyataannya baru bertambah 300 MW, PLTS harusnya 500 MW-1.000 MW tapi sekarang dapat 10 MW sudah bersyukur,” ungkap dia.

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Herman Darnel Ibrahim menyebut pengembangan EBT bukanlah tanpa tantangan. Beberapa faktor seperti nilai investasi, instrumen kebijakan tarif dasar, diversifikasi penggunaan bahan bakar, penguasaan teknologi, cadangan sumber energi lain masih menjadi cerita lama untuk diselesaikan.

“Kita punya cadangan energi gas dan batubara yang bisa bertahan hingga tahun 2100. Feed in tariff belum diterima dengan baik oleh PLN dan Kemenkeu. Tantangan lainnya, harga patokan yang ditetapkan pemerintah masih kurang menarik bagi investor,” tandas Herman. (Dny/Gdn)