Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menetapkan target nilai tukar rupiah berada di level 13.300 per dolar Amerika Serikat (AS) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Bagaimana prediksi ekonom terhadap pergerakan kurs mata uang Garuda ini di tahun depan?
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Eko Listiyanto meramalkan, kurs rupiah akan bergerak menuju pelemahan dengan rata-rata 13.500 per dolar AS di 2017. Lanjutnya, secara umum, gambaran kurs rupiah lebih mencerminkan dinamika yang terjadi di global dibanding dalam negeri.
"Artinya walaupun kita sudah pontang panting memperbaiki fundamental ekonomi di dalam negeri, kalau global tidak stabil, tetap saja rupiah tidak stabil," terangnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (13/12/2016).
Advertisement
Dengan begitu, sambung Eko, situasi perekonomian AS berada dalam ketidakpastian, maka ikut mencerminkan kurs rupiah. Menurutnya, hal ini wajar mengingat cadangan devisa (cadev) di Indonesia sebagian besar dalam bentuk dolar AS.
"Semakin kondisi ekonomi AS tidak pasti, rupiah makin bergoyang. Wajar sih jadi ikut mengalami guncangan," Eko menambahkan.
Namun demikian, dia mengatakan, cadev Indonesia sebesar US$ 111,47 miliar masih mampu mengatasi gejolak rupiah dalam jangka pendek. Eko mencatat, Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi pasar sekitar US$ 3 miliar dalam rangka menstabilisasi kurs rupiah yang sempat melemah sebulan yang lalu.
"Cadev masih di atas US$ 100 miliar, cukup aman untuk bisa menyerap shock rupiah dalam jangka pendek. Misalnya dalam sebulan atau temporer, masih bisa ditangani, apalagi tren impor masih turun, jadi ada peluang itu. Kecuali kalau sudah menyentuh basic, ekonomi kita melorot terus, itu butuh stimulus ekstra tidak cukup hanya dari kebijakan moneter saat ini," jelas Eko.
Dihubungi terpisah, Ekonom dari Kenta Institute, Eric Sugandi memproyeksikan kurs rupiah akan mengalami apresiasi di tahun depan. "Di akhir tahun 2017, rupiah akan menyentuh level 13.000 per dolar AS," ujarnya.
Faktor pendorongnya, dia bilang, karena posisi neraca pembayaran di tahun depan akan semakin membaik dengan catatan surplus bertambah, terutama karena surplus yang meningkat di capital dan financial account dari portofolio investasi serta investasi langsung asing (FDI).
"Juga karena faktor ketidakpastian tentang kenaikan suku bunga acuan The Fed dan kebijakan Trump tahun ini sudah tidak ada lagi di tahun depan. Apalagi setelah Fed Fund Rate benar naik dan Trump mulai membuat kebijakan sebagai Presiden AS," Eric menandaskan.