Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan menolak gugatan pengujian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Tax Amnesty). Hal ini diputuskan Ketua MK, Arief Hidayat beserta 8 hakim MK lainnya pada Sidang Pengucapan Putusan uji materi UU Tax Amnesty terhadap Undang-Undang Dasar (UUD 1945).
Keputusan tersebut diketok MK setelah pengucapan putusan sidang 4 perkara pengujian UU Tax Amnesty yang seluruh hasilnya tidak dapat menerima gugatan pemohon alias menolak.
"Seluruh gugatan pemohon tidak dapat diterima," tutup Arief membacakan kesimpulan putusan.
Advertisement
Sidang 4 perkara ini, meliputi nomor registrasi 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XlV/2016, 59/PUU-XlV/2016 dan 63/PUU-XlV/2016 yang dimohonkan oleh Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia. Leni lndrawati, Yayasan Satu Keadilan, Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh lndonesia (KSPSI).
Para pemohon menyoal ketentuan dalam UU Tax Amnesty yang dinilai telah melukai rasa keadiian dalam masyarakat karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak.
Selain itu, ketentuan ini juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana.
Dari pantauan Liputan6.com, untuk sidang perkara pertama dengan nomor registrasi 57/PUU-XIV/2016 atas pemohon Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, MK menolak gugatan tersebut, antara lain atas Pasal 3 ayat (1) UU Tax Amnesty, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 ayat (2), (3), dan (5), Pasal 19 ayat (1), (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23.
"MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Diputuskan oleh 9 hakim MK pukul 15.05 WIB," tegas Arief.
MK pun menolak perkara nomor 58/PUU-XlV/2016 yang digugat Yayasan Satu Keadilan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini menuntut pengujian UU Tax Amnesty Pasal 1 (angka 1, 7), Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 22.
"Untuk perkara nomor 58 tidak dapat diterima oleh 9 hakim. Selesai diucapkan pukul 15.23 WIB," tambah Arief.
Sidang ketiga dengan nomor perkara 59/PUU-XlV/2016 yang dimohonkan oleh Leni Indrawati, Hariyanto, dan kawannya. Kuasa pemohon M. Pilipus Tarigan. Menggugat UU Tax Amnesty Pasal 1 angka 1 dan 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5).
"Konklusi memutuskan permohonan inkonstitusional oleh pemohon tidak dapat diterima. Menolak inkonsideran oleh 9 Hakim. Selesai diucapkan 15.39 WIB," ucap Arief.
Terakhir, sidang perkara nomor 63/PUU-XlV/2016 yang menggugat UU Tax Amnesty Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (2). Pemohon atas DPP SBSI, KSPI, KSPSI dengan kuasa pemohon Agus Supriyadi.
Menkeu Sri Mulyani pada sidang sebelumnya mengungkapkan, program tax amnesty ini tidak merugikan masyarakat miskin, namun justru memberikan keuntungan kepada masyarakat secara luas.
"Keuntungan tax amnesty yakni adanya dana repatriasi yang dapat menggerakkan perekonomian nasional. Kemudian, uang tebusan tax amnesty dapat digunakan secara langsung bagi pembangunan," jelasnya.
Pemerintah dalam perlawanan gugatan UU Tax Amnesty ke MK telah menghadirkan 12 saksi ahli. Salah satunya Pengamat Ekonomi sekaligus mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri. Dia mengatakan, target penerimaan pajak harus dinaikkan agar target belanjanya bisa dilakukan.
"Jika tidak, maka akan terjadi perlambatan ekonomi yang menyebabkan potensi penerimaan negara juga mengalami penurunan," ujar Chatib.
Saksi ahli lainnya, Guru Besar Ilmu Administrasi Pajak Universitas Indonesia Gunadi. "Selain uang tebusan, target tax amnesty di Indonesia adalah repatriasi harta untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan dimanfaatkan untuk restrukturisasi ekonomi sehingga struktur ekonomi makin maju," tandasnya.