Liputan6.com, Jakarta Konsumsi Sigaret Kretek Tangan (SKT) mulai mengalami penurunan konsumsi. Ada beberapa masalah kenapa industri SKT ini mengalami penurunan.
Anggota DPR Komisi XI Muhammad Misbakhun, permasalahan SKT cukup kompleks. Dari segi cukai, nilai yang dibebankan untuk SKT cukup tinggi sehingga membuat beban industri lebih berat.
Di samping itu industri SKT pun padat karya karena produk yang dihasilkan adalah kretek. "Belum lagi faktanya konsumsi kretek itu kurang diminati oleh perokok pemula," katanya di Jakarta, Jumat (16/12/2016)
Advertisement
Wakil Ketua Fraksi PDIP di DPR Hendrawan Supratikno menambahkan, untuk menyelamatkan SKT perlu dilihat dari beban cukai dan pajaknya. Pemerintah, lanjutnya, harus memperhatikan keberlangsungan industri ini.
"Pemerintah harus melihat itu untuk keberlangsungan SKT," katanya.
Sementara itu, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian PerindustrianWillem Petrus Riwu selaku mengatakan, tren SKT memang menurun yang berdampak pada penutupan beberapa pabrik di daerah.
Willem mengakui perjuangan untuk menyelamatkan pabrikan SKT memang memiliki berbagai hambatan, terutama dengan masih banyaknya perbedaan persepsi di masyarakat dan pemerintah.
"Kalau ingin menyelamatkan industri ini yang sudah jelas menyerap banyak SDM, kita baik dari pemerintah, DPR dan LSM harus duduk bersama. Karena dari banyak anak bangsa yang menggantungkan nasibnya di industri SKT. Kalau tidak begitu ya sulit," tegasnya.
Salah satu indikator turunnya konsumsi SKT adalah dari realisasi penerimaan cukai. Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebutkan, hingga bulan November 2016 realisasi pendapatan cukai rokok baru menyentuh 64 persen atau sekitar Rp 91,4 triliun.
Dari nilai itu, Sigeret Kretek Mesin (SKM) menyumbang sekitar 80 persen dan masing-masing 10 persen dari SKT dan Sigaret Putih Mesin (SPM).