Liputan6.com, Jakarta - Indonesia membuat sejarah baru untuk memudahkan masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan miskin mendapatkan rumah layak huni. Salah satunya dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan UU Tapera menjadi UU pada 23 Februari 2016. Pengesahan UU Tapera tersebut telah menyedot perhatian pembaca pada Februari 2016.
Pengesahan RUU Tapera menjadi UU itu dilakukan dalam rapat paripurna DPR ke-19 yang dihadiri oleh 318 anggota DPR RI. Rapat paripurna kala itu berjalan lancar dan mendapatkan dukungan penuh dari anggota DPR.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menuturkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Itu seperti diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1, negara menjamin pemenuhan kebutuhan warga negara atas tempat tinggal yang layak terjangkau dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif.
Dengan penyelesaian RUU Tapera hingga menjadi UU juga mencerminkan keberpihakan kuat kepada masyarakat dalam upaya mengatasi akses pembiayaan perumahan agar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memiliki tempat tinggal yang layak huni dan terjangkau.
UU Tapera diharapkan dapat mengurangi selisih pasokan dan permintaan rumah atau disebut backlog yang diperkirakan mencapai 15 juta unit. Hal itu mengingat MBR tidak dapat memenuhi persyaratan bank untuk kredit rumah sehingga ada UU Tapera dapat memfasilitasi pembiayaan perumahan untuk MBR.
Di sisi lain pendanaan dari pemerintah terbatas. Kemampuan pemerintah mengadakan rumah sekitar 200 hingga 250 ribu unit per tahin dari target 1 juta unit rumah.
Diterapkan di Negara Lain
Di sejumlah negara termasuk ASEAN telah lama memanfaatkan program tabungan perumahan tersebut. Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Maurin Sitorus menuturkan, China, Filipina, Malaysia, Brasil, Meksiko dan Singapura merupakan negara yang sukses untuk memberikan bantuan kebutuhan perumahan lewat tabungan perumahan.
Ia mencontohkan Singapura telah melaksakan program tabungan perumahan sejak 1950-an. Singapua bahkan mewajibkan pemotongan gaji sebesar 24 persen untuk membayar cicilan rumah warganya. Dalam kurun waktu 10 tahun, seluruh warga Singapura memiliki rumah.
Sekitar 84 persen merupakan rumah milik dan 8 persen adalah rumah sewa. Dengan rumah sewa di Singapura, karena masih terdapat masyarakat yang belum mempunyai kemampuan untuk mengangsur rumah.
Indonesia dinilai terlambat untuk menerapkan program tersebut. Akan tetapi, hal itu lebih baik menerapkan sekarang ketimbang tidak sama sekali.
Untuk mengawasi berjalannya Tapera, pemerintah membentuk Komite Tapera. Komite ini akan diisi oleh sejumlah pejabat terkait termasuk Menteri PUPR dan Menteri Keuangan. Pemerintah juga akan membentuk lembaga baru untuk mengumpulkan dana tabungan pekerja.
Adanya tabungan perumahan ini diharapkan dapat menghadirkan perumahan bagi MBR yang ditargetkan hingga dua juta rumah subsidi per tahun. Selain sebagai sumber pembiayaan perumahan, ada Tapera ini juga bisa sebagai jaminan hari tua.
Tak hanya memberikan pembiayaan, ada UU Tapera juga memiliki mulitiflier effect terutama meningkatkan pertumbuhan di sektor perumahan. Maurin menilai, sektor perumahan merupakan lokomotif ekonomi sehingga dapat memacu sektor usaha lainnya.
Iuran Tapera
Iuran Tapera
Adanya UU Tapera mewajibkan 180,3 juta pekerja swasta maupun Pegawai Negeri Sipil menjadi peserta. PNS sebagai peserta Tapera untuk memberikan kemudahan bagi abdi negara memiliki rumah. Â
Memang PNS telah memiliki program tabungan yang digunakan untuk berbagai macam manfaat, salah satunya kredit perumahan. Akan tetapi dilebur dengan Tapera agar manfaatnya lebih fokus.
Untuk iurannya diperkirakan mencapai tiga persen yang akan dibayarkan perusahaan dan pekerja. Iuran itu terdiri dari 2,5 persen dipotong dari gaji pekerja dan 0,5 persen dibayarkan perusahaan.
Dana peserta akan dikelola Badan Pengelola Tapera. Badan tersebut diperkirakan mampu himpun dana Tapera hingga Rp 113 triliun per tahun. Besaran iuran tersebut pun akan diatur dalam Peraturan Pemerintah(PP).
Program tapera ini ditujukan untuk MBR yang memiliki pendapatan antara Rp 2,1 juta-Rp 5,2 juta per bulan. Sedangkan dari model rumah yang didapatkan, dengan luas tanah 72 meter persegi dan luas bangunan 36 meter persegi. Dengan ukuran itu dinilai untuk 4-5 orang.
Untuk mendapatkan fasilitas tabungan perumahan itu, peserta Tapera harus memenuhi dua syarat. Pertama, peserta yang berhak mendapatkan bantuan pembiayaan adalah anggota yang telah setahun dan rutin menyetor iuran setiap bulan. Peserta tersebut juga tergolong MBR. Kedua, calon peserta belum memiliki rumah.
Advertisement
Buruh Senang, Pengusaha Menolak
Buruh Senang, Pengusaha Menolak
Buruh tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung adanya UU Tapera. Lantaran buruh juga tidak mampu membeli rumah karena upah minimal. Dengan ada tabungan perumahan dapat membantu buruh membeli hunian yang layak.
"Buruh bekerja 30 tahun tidak punya rumah karena kebutuhan papan atau rumah sudah menjadi barang mewah. Padahal rumah adalah kebutuhan paling hakiki," ujar Presiden KSPU Said Iqbal.
Namun, ada tiga syarat dengan buruh mendukung UU Tapera tersebut. Pertama, nilai jual rumah terjangkau oleh buruh dan bersih. Kedua sepanjang iuran yang dibebankan kepada buruh tidak memberatkan. Ketiga, setiap buruh penerima UMP harus punya kemampuan dan akses untuk dapat perumahan.
Tak semua pihak senang dengan UU Tapera. Kalangan pengusaha keberatan dengan UU Tapera lantaran itu hanya tumpang tindih dengan program kepemilikan perumahan sejenis bagi pekerja dalam BPJS Ketenagakerjaan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengatakan pihaknya pun akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pihaknya akan mempelajari UU tersebut dan menunggu proses penggodokan dari aturan turunan dari UU itu.
Haryadi juga menilai, pemerintah dan DPR juga sebaiknya tidak perlu membentuk badan baru untuk memudahkan kepemilikan rumah bagi para pekerja. Lantaran dalam BPJS Ketenagakerjaan program itu sudah berjalan dan ada.
Selain itu, pengusaha keberatan iuran yang ditarik untuk tabungan perumahan. Pengusaha menilai, sumber pendanaan perumahan rakyat itu harusnya dari anggaran pemerintah. Ketua Kadin Rosan Roslani mengatakan besaran iuran yang diatur masih memberatkan pengusaha.
Oleh karena itu, pihaknya berharap pemerintah tidak memaksakan beban iuran bagi pemberi kerja dan perusahaan. Rosan menyatakan sumber pendanaan Tapera seharusnya berasal dari APBN-APBD atau dari sumber-sumber pembiayaan publik lainnya yang selama ini sudah dipungut pelaku usaha melalui pajak.
“Pemerintah seharusnya lebih dulu mewujudkan target pembangunan satu juta rumah bagi masyarakat dan memperkuat kerja sama dengan pengembang. Pekerja formal tidak perlu dibebani iuran sebagaimana isi UU Tapera," kata Rosan.
Pemerintah mengaku telah melibatkan pengusaha dalam perumusan UU Tapera. Hal itu ditunjukkan dari gelaran Forum Group Discussion (FGD) yang dihadiri pekerja dan pengusaha.