Liputan6.com, Jakarta - Target swasembada susu yang dicanangkan pemerintah pada 2020 perlu mendapatkan perhatian khusus. Target ini terancam tidak tercapai jika sampai saat ini 82 persen kebutuhan susu nasional masih dipasok dari impor.
Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), Agus Warsito mengatakan, kondisi ini lantaran semakin berkurangnya jumlah peternakan sapi perah rakyat yang dapat bertahan dengan harga jual susu yang sangat rendah. Susu lokal saat ini dihargai sekitar Rp 4.000-Rp 4.500 per liter.
Harga jual ini tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan dalam mengelola sapi perah tersebut. Oleh karena itu, tidak aneh jika di banyak daerah sentra sapi perah, para peternak justru lebih tertarik untuk memotong sapinya dan dijual sebagai daging.
"Dibutuhkan adanya suatu kewajiban serap dari pemerintah yang mengharuskan industri pengolahan susu untuk menyerap susu segar dalam negeri. Hal ini regulasi bisa menjadi solusi yang dapat menaikkan posisi tawar para peternak sapi perah sehingga usaha peternaka terlindungi dan dapat berkembang," ujar dia di Jakarta, Kamis (22/12/2016).
[bacajuga:Baca Juga](2661048 2622130 2521776]
Agus menuturkan, tanpa adanya kepastian serap, jika harga jual susu dari peternak lokal naik sedikit saja, pabrik pengolah susu langsung beralih kepada pilihan untuk mengimpor susu yang harganya jauh lebih murah. Dengan kata lain, saat ini para peternak yang mencari pembeli untuk susu yang diproduksinya, dan berada pada posisi tawar yang sangat rendah.
"Jika muncul regulasi wajib serap, maka nantinya para peternak lokal ini akan dicari oleh pabrik-pabrik pengolah susu dan harga jual susu juga akan menjadi semakin baik untuk usaha peternakan rakyat,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Program Pasca Sarjana - Manajemen dan Bisnis IPB, Arif Daryanto mengatakan, ada dua kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan di industri susu ini. Pertama, mengubah pandangan masyarakat mengenai konsumsi susu melalui promosi konsumsi susu cair yang mayoritasnya merupakan susu segar, bukan lagi konsumsi susu bubuk atau susu kental manis.
Kedua, menciptakan non-tax barrier sehingga tidak akan terjadi liberalisasi perdagangan (trade liberalization) seperti yang terjadi di Filipina. Saat ini dengan liberalisasi perdagangan tersebut, produksi domestik di Filipina tinggal satu persen.
"Di Indonesia, produksi domestik kita ada di kisaran 20 persen, jangan sampai menurun. Industri susu Indonesia perlu tumbuh secara inklusif dimana semua pihak harus terlibat dan berpartispasi, untuk memenuhi 4 hal yaitu kecukupan, keterjangkauan, kemanan dan kualitas susu. Tentunya Pemerintah diharapkan bisa menjembatani agar ada kemitraan yang bisa menyasar 4 syarat ini tercapai," ujar Arif.
Advertisement