Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar dolar AS terus menguat jika dibandingkan dengan beberapa mata uang lainnya. Penguatan tersebut karena beberapa hal seperti terpilihnya Donald Trump menjadi presiden AS dan juga kenaikan suku bunga Bank Sentral AS. Apakah penguatan dolar AS ini akan terus berlanjut?
Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean mengaku sangsi nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat dibanding mata uang lain. Menurut dia, supaya dolar AS menguat mesti memenuhi beberapa syarat, antara lain inflasi yang rendah, produktivitas ekonomi yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang kuat dan permintaan (demand) yang tinggi.
Dari empat syarat tersebut hanya permintaan atau demand yang memenuhi faktor penguatan dolar AS. Â "Nah dari keempat faktor yang menyebabkan ialah supply dan demand saja," kata dia dalam acara bertajuk Tantangan Pasar Finansial 2017 di Graha CIMB Niaga Jakarta, Kamis (22/12/2016).
Advertisement
Baca Juga
Dia menuturkan, syarat lain tak terpenuhi untuk mendorong penguatan dolar AS. Sebut saja, untuk pertumbuhan ekonomi AS sendiri masih lebih rendah di bawah Jerman.
"Tapi kalau lihat pertumbuhan ekonomi di bawah pertumbuhan ekonomi Jerman. Artinya syarat kedua pertumbuhan itu harus kuat menopang dolar, nggak terpenuhi," jelas dia.
Begitu juga dengan inflasi. Dia menuturukan, inflasi AS lebih tinggi dibanding dengan Jerman. Menurut dia, inflasi yang tinggi seharusnya membuat investor menjual surat utang pemerintah (US treasury) namun hal tersebut tidak terjadi.
"Inflasi AS lebih tinggi daripada Jerman. Kalau dilihat inflasi AS harusnya menyebabkan jual US treasury, keluar dolar, masuk euro. Mestinya gitu tapi kejadian nggak," ujar dia.
Kemudian, dia mengatakan produktivitas ekonomi tak mendukung penguatan dolar AS. "Nah waktu AS kena krisis kira-kira stagflasi tahun 1980 labor force participation rate 63. Sekarang angkanya sama dengan tahun 1980 artinya tingkat unemployment yang rendah itu sebetulnya menggambar labor force participate yang turun," tandas dia. (Amd/Gdn)
Â