Liputan6.com, Jakarta Para pengamat perpajakan optimistis program pengampunan pajak (tax amnesty) dapat mencapai target uang tebusan Rp 165 triliun hingga akhir Maret 2017. Sampai dengan 31 Desember ini, total uang tebusan tax amnesty dapat tembus Rp 115 triliun.
Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo memperkirakan uang tebusan akan terus bergerak naik hingga akhir periode II pada 31 Desember 2016.
"Di akhir periode II, perkiraan kami uang tebusan tax amnesty maksimal Rp 115 triliun. Ini melihat trennya, sehingga pencapaian tersebut akan berpengaruh pada realisasi penerimaan pajak 2016," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (26/12/2016).
Dihubungi terpisah, Pengamat Perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Ronni Bako memperkirakan uang tebusan khusus di periode II (Oktober-Desember) hanya mencapai 30 persen dari total target Rp 165 triliun.
Baca Juga
"Periode II itu prediksi uang tebusan memang turun. Dari 60 persen di periode I, kemudian turun di periode II dengan realisasi hanya 30 persen, dan selanjutnya naik lagi bisa mencapai 50-60 persen di periode III," dia menerangkan.
Dengan proyeksi tersebut, Ronni optimistis pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mampu meraup uang tebusan seperti target yang diharapkan Rp 165 triliun sampai dengan 31 Maret 2017.
"Hitung-hitungan saya sih uang tebusan bisa mencapai Rp 165 triliun," ujarnya.
Dia beralasan, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi Maret 2017. Saat itulah, sambung Ronni, WP Orang Pribadi akan berpikir ulang untuk mendaftar tax amnesty.
"Kalau tidak ikut tax amnesty, maka PPh mereka di 2015-2016 akan besar sehingga walaupun tarif tax amnesty tinggi di periode III, mereka akan berbondong-bondong ikut. Daripada bayar PPh tarif tinggi, lebih baik ikut tax amnesty. Secara akuntansi, daripada rugi bayar tarif normal 25-30 persen, lebih baik rugi bayar 5 persen," jelas Ronni.
Dalam Undang-undang Pengampunan Pajak Nomor 11 Tahun 2016, tarif uang tebusan deklarasi harta di dalam negeri dan repatriasi dikenakan sebesar 5 persen di periode III (Januari-Maret 2017). Sedangkan untuk deklarasi luar negeri dipungut tarif 10 persen.
Hanya saja, Ronni menyoroti sosialisasi tax amnesty di periode II yang tidak begitu gencar atau agresif lagi dari DJP maupun pemerintah dibanding periode I. Dia menilai, di periode I, sosialisasi begitu simultan hampir 2 pekan sekali, tapi kini mulai jarang.
"Kalau begini terus, memang pesimistis bisa capai Rp 165 triliun. Makanya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) harus jemput bola ke pengusaha atau ke pemilik dana, ke mal, ke pasar, lakukan sosialisasi lagi secara simultan," saran Ronni.
Sebagai informasi, dari data dashboard yang dikutip di laman resmi DJP, nilai deklarasi harta sampai dengan saat ini mencapai Rp 4.111 triliun. Nilai uang tebusan berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH) Rp 98,3 triliun, sedangkan berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) senilai Rp 103 triliun.
SPH yang masuk hingga sekarang ini mencapai 553.029 SPH.
Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi mengatakan, WP peserta tax amnesty di periode II (Oktober-20 Desember) mencapai Rp 118.957 yang melaporkan 124.074 SPH.
Advertisement
Rinciannya sebanyak 61.940 WP Orang Pribadi UMKM, 25.649 WP OP Non UMKM, sebanyak 18.040 WP Badan UMKM, dan WP Badan UMKM 13.328 WP.   Â
"Untuk uang tebusan berdasarkan SPH dari Oktober-20 Desember sebanyak Rp 3,65 triliun, sedangkan uang tebusan sesuai Surat Setoran Pajak (SSP) mencapai Rp 101 triliun dari periode Juli-20 Desember ini," ujar Ken.
Data lainnya, jumlah SPH yang dilaporkan sebanyak 124.074 SPH sejak Oktober sampai 20 Desember ini. Di Oktober 2016, SPH yang masuk 39.164 SPH, meningkat jadi 42.570 SPH, dan sampai 20 Desember ini sebanyak 39.600 SPH.
"Komposisi harta berdasarkan SPH di periode II hingga 20 Desember Rp 375,97 triliun. Deklarasi dalam negeri Rp 302,43 triliun, deklarasi luar negeri Rp 62,83 triliun, dan repatriasi Rp 10,7 triliun," jelas Ken.(Fik/Nrm)
Â
Â