Sukses

Industri Rokok Tertekan Kenaikan PPN

Tahun ini merupakan tahun yang berat bagi industri rokok.

Liputan6.com, Jakarta Produsen rokok merasa keberatan atas kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 9,1 persen yang ditetapkan pemerintah. Pengusaha keberatan karena kenaikan PPN juga bersamaan dengan kenaikan cukai rokok.

Ketua Umum Gabungan Pengusahan Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mengatakan, tahun ini merupakan tahun yang berat bagi industri. Terlebih, perekonomian juga belum membaik.

"Memang berat, karena ini bareng dengan kenaikan cukai tahun ini," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, di Jakarta, Senin (9/1/2017).

Dia menilai kenaikan PPN juga terlampau tinggi. Padahal, pembahasan terakhir dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) kenaikan PPN pada 2017 hanya 8,9 persen. Realisasinya, kenaikan tahun ini justri 9,1 persen.

"Makanya kembali pembicaraan kita dengan BKF bulan Agustus tahun lalu sebetulnya rencana kenaikannya 8,9 persen dulu, baru tahun 2018 menjadi 9,1 persen. Ini dipercepat, berat lah," ujar dia.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 207/PMK.010/2016 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Penyerahan Hasil Tembakau. Aturan ini menetapkan besaran tarif PPN rokok naik menjadi sebesar 9,1 persen per 1 Januari 2017.

Dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan(Kemenkeu) di Jakarta, Senin (9/1/2017), PMK 207/2016 merupakan perubahan atas PMK 174/PMK.03/2015. Dalam PMK 174 Tahun 2015 sebelumnya, tarif PPN atas penyerahan hasil tembakau atau rokok ditetapkan 8,7 persen.

"Besar tarif efektif PPN atas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (penyerahan hasil tembakau) ditetapkan 9,1 persen," bunyi Pasal 4 PMK 207/2016.

Peraturan menteri ini mulai berlaku pada 1 Januari 2017. Beleid tersebut ditandatangani oleh Sri Mulyani dan diundangkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana tertanggal 28 Desember 2016. (Amd/Nrm)