Liputan6.com, New York - Harga minyak mencatatkan kenaikan hampir tiga persen. Kenaikan harga minyak didukung dari sinyal Arab Saudi patuh terhadap komitmen memangkas produksi minyak.
Selain itu, pelaku pasar atau trader tampak mengabaikan data pemerintah Amerika Serikat (AS) yang mencatatkan kenaikan produksi secara mingguan. Peningkatan produksi minyak pun berdampak terhadap gerak saham-saham energi.
Sentimen lainnya didorong dari pernyataan presiden terpilih AS Donald Trump yang memperkuat keyakinan kalau pihaknya bisa mendorong harga minyak.
Advertisement
Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 1,43 atau 2,8 persen menjadi US$ 52,55 per barel di New York Mercantile Exchange. Sebelumnya ditransaksikan di kisaran harga US$ 51,35. Harga minyak Brent untuk pengiriman Maret menguat US$ 1,46 atau 2,7 persen ke level US$ 55,10 per barel.
Baca Juga
"Bila Trump mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat ini"bullish" untuk harga minyak," kata James Williams, EKonom WTRG Economic, seperti dikutip dari laman Marketwatch, Kamis (12/1/2017).
Ia menambahkan, bila melihat sejumlah gerakan harga minyak lantaran pertumbuhan ekonomi. Pesatnya pertumbuhan ekonomi China dan lainnya menjadi kontributor utama harga minyak sempat tembus US$ 100.
Pada saat yang sama, harga minyak yang rendah juga diharapkan terjadi didukung dari kebijakan ekonomi. Ia mengatakan, sedikit pengaturan terhadap pengeboran minyak seharusnya mendorong produksi AS lebih besar sehingga harganya jadi lebih rendah.
Data pasokan minyak AS menunjukkan kenaikan persediaan minyak mentah domestik 4,1 juta barel pada pekan terakhir 6 Januari 2017. Angka itu lebih dari dua kali kenaikan poduksi minyak yang dilaporkan American Petroleum Institute.
"Sentimen kenaikan stok minyak mentah AS tidak menganggu pemotongan produksi minyak oleh anggota OPEC dan non OPEC," kata Chief Energy Strategist Macro Risk Advisors Chris Kettenman.
Pasar melihat ada sinyal Arab Saudi komitmen untuk pangkas produksi juga mempengaruhi harga minyak. Arab Saudi akan pangkas produksi minyak pada Februari. "'Tampaknya pasar lebih terkesan dengan kepatuhan Arab Saudi ketimbang persediaan pasokan lebih besar," Analis Price Futures Group Phil Flynn.