Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia ‎terus menanti realisasi kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di bidang ekonomi. Sebab, kebijakan dari sisi fiskal dan moneter dari pemerintahan Donald Trump akan berpengaruh terhadap Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, mengungkapkan pidato dalam pelantikan atau inagurasi Donald Trump pada pekan lalu tidak berdampak kepada ekonomi Indonesia.
"Belum ada (dampak). Kita akan perhatikan terus perkembangan kebijakannya (Trump) seperti apa. Hari-hari ini kita perhatikan terus," ujar dia usai menghadiri Global Research Briefing Standard Chartered, Hotel Shangrila, Jakarta, Senin (23/1/2017).
Menurut Suahasil, pemerintah masih menunggu realisasi kebijakan yang dilontarkan Donald Trump saat kampanye, seperti kenaikan pajak impor, proteksi sektor perdagangan, serta kebijakan lainnya.Â
Baca Juga
Advertisement
Dengan begitu, pemerintah dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengantisipasi kebijakan tersebut. "‎Kita perhatikan terus terutama perkembangan kebijakan yang akan diambil. Kan, kita tahu AS mau keluar dari TPP, itu sudah, akan menaikkan pajak. Nah itu kita tunggu, apa betul-betul akan diambil," ujar dia.
Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai model atau gaya kepemimpinan Trump berbeda dengan Obama.
Ketidakpastian kondisi ekonomi global akan semakin meningkat karena pernyataan-pernyataan Trump yang tidak umum dan bertentangan dengan sebelumnya‎.
Sebagai contoh, kata dia, terkait kebijakan proteksi perdagangan yang selama ini di luar kebiasaan AS dalam menjalankan kebijakan liberalisasi. Sebab kabarnya setelah pelantikan, Trump akan menandatangani kebijakan pertama, yakni pengunduran diri AS dalam Trans-Pacific Partnership (TPP).
Hal ini akan berdampak kepada ekonomi Indonesia mengingat AS merupakan salah satu tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia. "Jadi pemerintah harus mengantisipasi kebijakan itu," ucap Eko.
Pertama, ujarnya, pemerintah harus mampu memetakan dan menjaga sektor-sektor unggulan di dalam negeri, sehingga tidak melulu mengandalkan ekspor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, misalnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan lainnya.
"Langkah ini bisa menjadi bantalan buat ekonomi dalam negeri ketika guncangan ekspor dari kondisi perdagangan luar negeri makin besar akibat kebijakan proteksi. Jangan sampai pasar domestik kita justru dikuasai produk impor, jadi perlu diperkuat produksi dan pasar di dalam negeri," ucap dia.
Antisipasi kedua, tutur Eko, mencari diversifikasi pasar tujuan ekspor. Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan untuk memerintahkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan duta besar untuk menganalisis potensi ekonomi riil di negara lain.
"Contohnya pasar Afrika, Timur Tengah, karena harga minyak kan mulai naik. Jadi mereka butuh komoditas lebih besar. Menjalin kerja sama perdagangan dengan negara nontradisional supaya pengusaha kita mudah masuk ke sana," ujarnya.
Eko menambahkan, terakhir antisipasi di sektor keuangan. Dia mengimbau supaya pemerintah dan Bank Indonesia lebih aktif menjalin kerja sama dengan Bank Sentral negara lain dalam menghadapi rencana kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan dua-tiga kali di tahun ini.
"Kalau AS bergejolak sedikit, kurs rupiah kita langsung kena. Jalin kerja sama dengan Bank Sentral negara lain supaya kalo The Fed naikkan tingkat bunga, guncangan bisa diredam sama-sama dengan satu kebijakan, karena selama ini tidak satu suara, ada yang naikkan bunga atau nurunin suku bunga," tandas dia.(Fik/Nrm)