Sukses

Harga Minyak Susut 1% Dibayangi Kenaikan Pengeboran di AS

Irak memperkirakan akibat kesepakatan pemangkasan output akan membuat harga minyak naik ke posisi US$ 60- US$ 65 per barel.

Liputan6.com, New York - Harga minyak turun 1 persen terpicu tanda-tanda pemulihan yang kuat pada pengeboran di AS yang juga dibayangi terwujudnya kesepakatan negara anggota OPEC dan non-OPEC untuk mengurangi output minyak di pasar dunia.

Melansir laman Reuters, Selasa (24/1/2017), harga minyak Brent turun 26 sen, atau 0,5 persen ke posisi US$ 55,23 per barel. Sementara minyak mentah ditutup ke US$ 52,75 per barel turun 0,9 persen, atau 47 sen.

Menteri yang mewakili anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan produsen non-OPEC dalam satu pertemuan di Wina mengatakan, jika kesepakatan untuk memangkas 1,8 juta barel per hari (bph) mulai pada 1 Januari, sudah terlaksana 1,5 juta barel per hari.

"Meskipun sepanjang pekan muncul komentar tentang apakah OPEC dan non OPEC akan mematuhi kesepakatan yang lebih cepat dari jadwal, kenaikan tajam dalam jumlah rig AS dan pembicaraan tentang peningkatan besar dalam belanja modal tampaknya akan menyebabkan souring mood bullish," kata Phil Flynn, Analis perusahaan broker yang berbasis di Chicago Price Futures Group.

Harga minyak mengupas kerugian setelah Menteri Perminyakan Irak mengatakan terlalu dini untuk mengatakan apakah kesepakatan perlu diperpanjang. Dia memperkirakan akibat kesepakatan pemangkasan output akan membuat harga minyak naik ke posisi US$ 60- US$ 65 per barel.

Di AS, jumlah rig pengeboran negara ini bertambah pada pekan lalu. Ini memperpanjang pulihnya produksi selama delapan bulan.

Produksi minyak AS telah meningkat lebih dari 6 persen sejak pertengahan 2016, meskipun masih 7 persen di bawah puncak pada 2015. Posisi produksi ini kembali ke level pada 2014.

"Ada pandangan luas bahwa harga harus lebih tinggi karena itu Saudi Arabia sangat mendorong melalui pemotongan pasokan langsung, tetapi ada kekhawatiran untuk kecepatan dan skala respon dari pasokan minyak shale AS karena harga yang lebih tinggi," jelas Standard Chartered dalam sebuah catatan.

Pasar secara umum juga bingung dengan sinyal awal dari Presiden AS Donald Trump yang mengambil sikap proteksionis di sektor perdagangan, menempatkan investor pada aksi defensif.(Nrm/Ndw)