Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus menunggu realisasi kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dalam 100 hari pemerintahannya. Pasca hengkang dari kerja sama perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP), Trump diyakini tidak akan langsung memutus keran impor karena ketergantungan Negeri Paman Sam terhadap barang-barang impor masih cukup tinggi.
Deputi Koordinasi Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Bidang Perekonomian, Rizal Affandi Lukman menilai, pemerintah Trump akan melakukan langkah untuk memperbaiki neraca perdagangan AS. Salah satunya dengan kebijakan proteksionisme yang mementingkan industri dalam negeri.
"Tapi perkiraan saya, tidak mungkin AS menutup semua keran impornya karena neraca perdagangan AS saat ini impornya besar," ujar dia saat Konferensi Pers G20 di kantornya, Jakarta, Jumat (27/1/2017).
Baca Juga
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor non migas Indonesia ke AS pada Desember 2016 mencapai US$ 1,46 miliar. Sedangkan nilai ekspor non migas US$ 15,68 miliar sepanjang Januari-Desember tahun lalu.
Sementara impor non migas AS ke Indonesia sebesar US$ 661,3 juta di Desember 2016 dan US$ 7,20 miliar selama setahun lalu. Dengan begitu, neraca perdagangan Indonesia dan AS terjadi surplus sebesar US$ 795,7 juta pada akhir 2016 dan surplus US$ 8,48 miliar di 2016.
"Ketergantungan AS atas impor tidak mungkin 1-2 bulan di stop, paling bertahap sehingga ada cukup waktu melihat kebijakan langsung dari Trump ke depan," Rizal mengatakan.
Selain itu, dia menerangkan, AS merupakan salah satu negara anggota G20, negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Komitmen anggota G20 menerapkan prinsip perekonomian terbuka dan menghindari proteksionisme.
"Jadi kalau nanti pertemuan dengan negara anggota G20, apakah AS akan mempunyai pandangan berbeda dengan komitmen tersebut, ya kita lihat saja nanti. Yang jelas perdagangan yang terbuka akan mendorong pertumbuhan ekonomi global, di samping investasi dan lainnya," ujar Rizal.
Advertisement