Sukses

Perusahaan Ini Bakal Rekrut 10 Ribu Imigran untuk Jadi Pegawai

10 ribu imigran tersebut akan disebar di berbagai cabang perusahaan di seluruh dunia

Liputan6.com, New York - CEO dan Pendiri Starbucks Howard Schultz menyatakan niatnya untuk merekrut imigran untuk menjadi pegawai di perusahaannya. Hal ini dilakukannya menyusul kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang melarang masuknya imigran sementara dari 7 negara muslim berbeda.

"Kita hidup di masa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Itulah mengapa perusahaan kami ingin memperkuat keyakinan bagi mitra kami di seluruh dunia. Termasuk diantaranya para imigran," tulis Schultz melansir laman CNNMoney.com, Selasa (31/1/2017)

Schultz mengaku akan merekrut sebanyak 10 ribu imigran yang akan ditempatkan di berbagai perusahaan Starbucks di seluruh dunia.

Niatan untuk merekrut imigran ini akan dimulai dengan membuka kesempatan kerja bagi mereka yang telah tinggal di Amerika Serikat. Schultz menulis, bahwa imigran yang pernah berperan sebagai intrepreter di tentara Amerika Serikat menjadi fokus awal dari perekrutan pegawai.

Tidak hanya sampai disitu. Schultz juga menegaskan dukungan Starbucks untuk program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) yang dapat membantu anak imigran ilegal untuk bisa mendapat pendidikan layak dan pekerjaan. Program ini pertama kali dilakukan oleh Obama di tahun 2012.

Schultz mengatakan, perusahaannya akan siap mendukung imigran dan keluarganya yang berasal dari seluruh dunia. Termasuk diantaranya menyatakan ketidaksetujuan akan kebijakan Trump yang memberlakukan sanksi perdagangan, pembatasan imigrasi dan pajak.

"Kami bertanggung jawab untuk menginspirasi, memupuk jiwa manusia, satu orang di satu waktu. Dan hal tersebut tak akan berubah. Anda dapat memegang omongan saya," tulis Schultz.

Howard Schultz bukanlah pebisnis pertama yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap arahan eksekutif (executive order) yang dikeluarkan oleh Donald Trump. Sebelumnya, CEO General Electric Jeff Immelt juga menulis kegelisahannya terhadap keputusan Presiden Amerika Serikat tersebut.