Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah baru saja meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Berkeadilan. Ide pungutan pajak tanah menganggur atau tidak produktif dipilih sebagai instrumen pemerataan dan penciptaan keadilan sosial.
Dari dua skenario atau mekanisme pengenaan pajak tanah, yakni capital gain tax atau pajak atas keuntungan dan pajak progresif, mana yang lebih cocok untuk diterapkan?
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, agar kebijakan pajak tanah nganggur bisa efektif, implementasinya perlu dipikirkan, baik level regulasi (jenis pajak apa yang tepat) dan teknis (administrasinya paling mungkin dan mudah).
Advertisement
Baca Juga
"Basis pengenaan pajak bisa dua, pengusahaan (lahan tidak produktif) dan penguasaan (kepemilikan berlebih). Bisa juga sekalian diatur, tanah atau bangunan yang dijual kurang dari 5 tahun dianggap spekulasi sehingga dikenai pajak lebih tinggi," jelas Prastowo dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (3/2/2017).
Pemerintah mewacanakan penerapan pajak tanah, antara capital gain tax (CGT) ataukah pajak progresif. Keduanya jenis pajak berbasis Pajak Penghasilan (PPh), akan dikenakan saat ada transaksi penjualan atau pengalihan.
Prastowo menjelaskan, CGT adalah pajak atas keuntungan, yaitu selisih antara harga jual dan harga perolehan atau harga beli.
"Sebagai contoh, tanah harga perolehan Rp 100 juta, dijual Rp 500 juta. Berarti ada selisih Rp 400 juta. Ini yang dipajaki, misalnya 5 persen. Berarti pajaknya 5 persen x Rp 400 juta sebesar Rp 20 juta," katanya.
Sementara pajak final progresif, tambah dia, adalah pengembangan dari PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah atau Bangunan yang dikenakan atas nilai pengalihan (nilai transaksi).
"Progresif karena sasarannya tanah yang menganggur atau kepemilikan kedua, ketiga, dan seterusnya. Contoh di atas, misalnya tarif 5 persen x Rp 500 juta= Rp 25 juta," Prastowo menerangkan.
Kelebihan dan Kerugian
Kelebihan dan Kerugian
Prastowo menilai, kelebihan dan kekurangan CGT maupun pajak progresif apabila diterapkan untuk tanah idle. Dia berpendapat, CGT adalah jenis pajak yang ideal, karena dikenakan atas keuntungan sehingga lebih adil sesuai prinsip pajak, yaitu dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis.
"Tapi kelemahan CGT adalah ketersediaan basis data, yaitu data harga perolehan tanah dan data kepemilikan. Siapa sasarannya dan berapa nilai asetnya. Maka perlu integrasi data kepemilikan dan data nilai tanah yang baik, sinergi antara BPN dan Ditjen Pajak," tuturnya.
Lebih jauh kata dia, pajak progresif, bisa dianalogikan dengan pajak kendaraan. Saat kita memiliki kendaraan lebih dari satu, kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya dikenai tarif progresif.
"Skema pungutan pajak ini adalah modifikasi dari pajak final yang sudah ada, tinggal diubah tarif progresif untuk tanah menganggur atau kepemilikan tanah kedua, ketiga, dan seterusnya," papar Prastowo.
Sementara kelemahan pajak progresif, kata dia, tidak ideal, seperti CGT karena basisnya transaksi, orang cenderung menghindari nilai pasar. Maka tantangannya adalah penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang kontinu sehingga mendekati harga pasar.
Menurut Prastowo, CGT maupun Pajak Final Progresif (PFP) sama-sama mempunyai kelemahan. Pertama, dikenakan saat adanya transaksi, padahal skema disinsentif ini justru akan efektif saat dikenakan tahunan (periodik) sehingga mendorong pemilik untuk mengusahakan lahan sehingga produktif, atau menjualnya.
Kedua, selama ini ada BPHTB untuk pembeli. Karena ini domain Pemerintah Daerah (Pemda), maka sulit untuk mengikuti perubahan kebijakan pusat. Perlu adanya koordinasi yang lebih baik.
Terkait kelemahan CGT dan PFP, maka justru harus ada pajak yang dikenakan periodik (tiap tahun) dengan tarif progresif (seperti atas kendaraan), agar menjadi insentif orang untuk mengusahakan lahannya atau menjualnya.
"Maka PBB (Pajak Bumi Bangunan) jadi pilihan yang mungkin. Hanya saja, kembali ke problem inkompatibilitas Otda, PBB P2 (Perdesaan Perkotaan) adalah domain Pemda. Perubahan harus via UU dan ada koordinasi pengaturan supaya adil," Prastowo menuturkan.
Dirinya beranggapan, ide yang baik ini perlu didukung namun juga perlu dipikirkan efektivitas implementasinya. "Jangan sampai ada ketidakadilan baru (BPHTB tetap tinggi, tiap daerah beda perlakuan), dan juga menciptakan loopholes untuk melakukan penghindaran pajak," jelasnya.
Menurut Prastowo, ini momentum terbaik untuk mulai memikirkan kebutuhan Comprehensive Tax Reform, sebuah reformasi perpajakan yang menyeluruh, menyentuh dimensi kebijakan, regulasi, dan administrasi, dan bukan tambal sulam.
Dengan demikian, ada injeksi visi baru sistem perpajakan yang berkeadilan. Revisi UU Perpajakan perlu dipertimbangkan menjadi revisi menyeluruh terhadap seluruh UU terkait (UU Perbankan, UU Adminduk, UU di bidang Pertanahan, dan UU Perpajakan) termasuk mandat harmonisasi, sinkronisasi, dan integrasi dengan sektor lain.
Prastowo mendesak, pemerintah segera memberikan penjelasan yang utuh dan menyeluruh, agar tujuan kebijakan pajak tanah tidak menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha real estate, atau kelompok masyarakat lainnya.
"Bahwa sasaran dan tujuan kebijakan ini cukup jelas dan tidak akan menimbulkan distorsi, bahkan menangkal upaya spekulasi dan melindungi akses warga negara pada tempat tinggal yang merupakan hak dasar, termasuk mendapatkan sumber daya berupa pajak untuk belanja sosial," tutup Prastowo. (Fik/Gdn)
Advertisement