Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk pelumas. Namun, rencana yang digaungkan sejak 2007 hingga kini belum memiliki kepastian waktu pemberlakuan. Saat ini penerapan regulasi SNI oli masih bersifat sukarela.
Padahal, menurut pegusaha SNI dibutuhkan agar industri dalam negeri bisa menikmati pasar domestik. Ini juga untuk mengatasi masalah peredaran pelumas impor yang marak masuk ke Indonesia.
Humas Asosiasi Produsen Pelumas Dalam Negeri (Aspelindo)Â Arya Dwi Paramita menuturkan, industri berharap agar pemerintah bisa segera menerapkan dan memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pelumas.
Advertisement
Baca Juga
Industri yakin, dengan SNI akan mampu memberi perlindungan terhadap produsen dalam negeri sekaligus konsumen. Sekaligus juga melindungi pasat lokal dari maraknya oli impor yang tidak jelas mutu dan kualitasnya.
"Perlu adanya suatu standar untuk melindungi konsumen dan produsen pelumas dalam negeri. SNI wajib akan menjamin mutu pelumas yang beredar sehingga konsumen akan diuntungkan. Efeknya, memajukan industri pelumas dalam negeri sekaligus meningkatkan daya saing industri dalam menghadapi MEA," tegas Arya, di Jakarta, Rabu (8/2/2017).
Perihal waktu penerapan SNI menurut Arya, sepenuhnya kewenangan pemerintah. Yang pasti, SNI menjadi bukti adanya perlindungan industri dan konsumen. "Kalau soal kapan diterapkan itu porsi pemerintah yang menjawab," jelas dia.
Pertamina Lubricant sendiri merupakan anggota Asosiasi Pelumas Indonesia (Aspelindo). Seperti diketahui, saat ini, terutama di berbagai daerah, banyak beredar pelumas dengan merek tidak jelas dan kualitas tak terjamin. Dengan penerapan SNI diyakini bisa mengontrol dan menjaga kualitas pelumas yang beredar.
"Menentukan buruk atau baiknya kualitas kan harus ada standarnya, itu pentingnya SNI. Kami sebagai produsen lebih mengutamakan kepercayaan dan perlindungan konsumen dan tentunya fair competition," tegas dia.
Menurut Arya, produk impor sah saja masuk asal harus ikut aturan dengan menerapkan standar yang ditetapkan Indonesia. Barang yang diproduksi di dalam negeri, tentunya juga harus sesuai dengan standar yang diterapkan pemerintah.
Merujuk data BPS dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), industri pelumas dalam negeri mampu memproduksi pelumas jadi sebesar 1,8 Juta kiloliter per tahun. Namun kemampuan pasar dalam negeri untuk menyerap produksi pelumas dalam negeri hanya 47 persen dari total produksi pelumas jadi yang dihasilkan di dalam negeri.
Kondisi ini membuat 950 ribu kiloliter atau setara dengan 53 persen produk pelumas jadi tidak terserap pasar dalam negeri. Diperburuk dengan masuknya impor produk pelumas sehingga memperberat produsen produk pelumas jadi dalam negeri.
Tak heran, selama 5 tahun terakhir neraca perdagangan produk pelumas jadi terus mengalami defisit neraca perdagangan.Untuk jenis pelumas non sintetik mengalami defisit US$ 256,3 juta/tahun dan untuk jenis pelumas sintetik terjadi defisit US$ 86,13 juta/tahun.
Impor pelumas non sintetik tahun 2016 didominasi Singapura, dengan nilai impor US$ 184,64 juta atau penguasaan 42,1 persen dari total impor pelumas non sintetik .
Impor pelumas sintetik tahun 2016 didominasi Amerika Serikat, dengan nilai impor US$ 23,17 Juta atau penguasaan 41,8 persen dari total impor pelumas sintetik.(Nrm/Ahm)