Liputan6.com, Jakarta Mustolih Siradj, konsumen Alfamart yang meminta transparansi pengelolaan donasi mengaku mendapatkan gugatan balik di pengadilan dari perusahaan ritel tersebut.
Alfamart menggugat Mustolih ke Pengadilan Negeri Tangerang menyusul keputusan yang mewajibkan perusahaan ini membuka laporan penggunaan dana donasi tersebut.
Baca Juga
Mustolih menuturkan, gugatan berawal dari langkahnya yang meminta data dan informasi pengelolaan sumbangan kepada Alfamart sejak 2015 lalu.
Advertisement
Sebagai konsumen, dia merasa berhak mengetahui aliran dana sumbangan yang telah diberikannya selama ini. Dia mengklaim memiliki bukti untuk mengajukan transparansi sumbangan tersebut.
"Saya punya 20 struk donasi dan kemudian menyurati Dirut alfamart yang intinya di surat saya, meminta 11 item informasi penyelenggaraan sumbangan. Seperti izin sumbangan, siapa penerima manfaat donasi terkumpul dan akuntan publik," jelas dia saat dihubungi di Jakarta, Kamis (9/2/2017).
Dia mengaku, mendapatkan informasi jika pada 2015, Alfamart menghimpun dana sumbangan dari kembalian uang konsumen Rp 33,6 miliar. Hal ini yang dia pertanyakan transparansinya.
Merasa Alfamart tidak transparan Mustolih kemudian mengajukan sengketa ke Komisi Informasi. Hasilnya, Alfamart diperintahkan memberikan data kepada Mustolih. Hal ini yang mendorong Alfamart mengajukan gugatan ke Mustolih.
"Saya santri, saya tidak gentar, tapi ini preseden buruk bagi konsumen Indonesia, minta transparansi malah saya diseret ke pengadilan " papar dia.
Dengan adanya gugatan itu, Mustolih berencana meminta perlindungan hukum ke Presiden, DPR, Menteri Perdagangan, Menteri Sosial yang berwenang menerbitkan izin sumbangan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPN).
Bahkan dia berencana melaporkan Alfamart ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena perusahaan ini tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Tanggapan Alfamart
Saat dikonfirmasi, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (SAT), pengelola jaringan Alfamart, memastikan upaya hukum banding ke tingkat pengadilan terkait status Badan Publik yang disematkan Komisi Informasi Pusat (KIP) sudah sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Hal ini merujuk pada UU KIP Tahun 2008, khususnya terkait Tata Cara Penyelesaian Sengketa, di Pasal 47 dan 48 yang diperkuat pula dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2011 tentang Tata cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan (Perma 2 Tahun 2011).
Dalam UU dan peraturan tersebut sudah diatur secara tegas langkah hukum yang dapat ditempuh bila ada pihak yang bersengketa tidak menerima putusan ajudikasi Komisi Informasi.
"Kami mengikuti prosedur perundang-undangan yang berlaku. Kami tegas, dan juga pelaku industri ritel lainnya yang tergabung di Aprindo, keberatan bila status Badan Publik disematkan justru ke perusahaan swasta yang sudah diatur di OJK dan BEI. Soal keterbukaan penggalangan dana masyarakat, kita tidak masalah," papar Corporate Communicaton General Manager SAT, Nur Rachman.
Ia justru menyayangkan Mustholih yang lebih memilih membangun opini publik dibanding mengikuti proses hukum persidangan. "Di satu sisi Mustholih mengakui putusan KIP, mengapa di sisi lain justru terkesan menyayangkan langkah banding kami yang juga sudah diatur di UU KIP dan Peraturan MA ? Sebagai warga negara yang baik, mari kita mengikuti proses hukum yang berlaku. Apalagi beliau seorang lawyer, pasti mengerti hukum. Kami berharap beliau juga menghargai hak kami di dalam hukum, sebagaimana kami menghargai putusan KIP dan proses hukum berikutnya," tegas Nur Rachman.
Ia berharap proses hukum di persidangan dapat berjalan dengan baik dan juga mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadi konsumen cerdas dan bijak dalam menghadapi isu-isu ataupun tudingan yang tidak berdasar.(Nrm/Ndw)