Â
Liputan6.com, Jakarta - Langkah Kementerian Perdagangan untuk impor gula guna memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak memberikan dampak positif bagi para petani tebu. Selain itu, langkah impor gula tersebut justru bisa menggagalkan program swasembada pangan.Â
Anggota Komisi VI Fraksi Gerindra Abdul Wachid menilai kebijakan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melakukan impor gula mentah (raw sugar) sebesar 400 ribu ton dianggap liberal karena berpotensi merugikan petani tebu.
Advertisement
"Kebijakan Mendag impor 400 ribu ton raw sugar membahayakan ekonomi. Seperti buah simalakama satu sisi bisa menguntungkan importir tertentu, di sisi lain berpotensi besar menyengsarakan petani tebu," katanya Kamis (9/2/2017).Â
Wachid pun mempertanyakan data-data perhitungan produksi, stok, dan kebutuhan gula nasional yang dijadikan pertimbangan Mendag untuk melakukan impor gula mentah.Â
Selama ini data produksi dan konsumsi gula masih belum jelas. Jika data yang digunakan tak akurat, kebijakan yang diambil pun pasti tak tepat. Selain itu, ia juga mempertanyakan konsistensi pemerintah soal kebijakan impor pangan, dalam hal ini gula.Â
Baca Juga
Anggota Komisi VI Fraksi PAN Nasril Bahar juga berkomentar mengenai kebijakan impor gula tersebut. Kebijakan tersebut bisa menggagalkan program swasembada pangan yang dicanangkan Presiden Jokowi.
"Saya melihat tidak ada goodwill untuk menyukseskan kebijakan swasembada pangan khususnya gula sebagaimana dicanangkan pemerintah Jokowi," katanya.
kebijakan membuka keran impor 400 raw sugar atau gula mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih oleh perusahaan swasta tertentu untuk selanjutnya dijual sebagai gula konsumsi publik, keliru.
"Impor raw sugar itu harusnya hanya diperuntukkan untuk industri makanan minuman, bukan dijadikan gula putih yang dijual langsung. Kebijakan Mendag ini cenderung menguntungkan pihak swasta tertentu" tandasnya.
Sebelumnya pada 25 Januari 2017, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, ‎dalam memenuhi kebutuhan gula nasional, pihaknya tidak hanya memotong mata rantai tetapi juga memfasilitasi kesepakatan antara produsen dan distributor gula. Ini dilakukan agar harga eceran tertinggi gula di masyarakat dapat dikendalikan di level Rp 12.500.
"Saat ini kebutuhan gula nasional untuk semester I 2017 diperkirakan mencapai 1,5 juta ton. Namun, dari angka tersebut, hanya mampu disediakan oleh industri gula nasional sebanyak 700 ribu ton gula. Kekurangan pasokan gula itu akan ditutupi dengan impor," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta‎, Selasa (24/1/2017).
Enggar menjelaskan, kebijakan membuka kran impor gula dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk mengantisipasi fluktuasi harga gula di pasar. Harga gula bisa naik tajam jika terjadi kekurangan pasokan di pasar. "Impor bisa menjadi instrumen untuk stabilisasi harga gula nasional," kata dia.
Dia mengakui, kerap terjadi dilema ketika produksi dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. "Untuk itu dibutuhkan impor gula untuk stabilisasi harga. Semua dilakukan dengan orientasi utama menciptakan harga gula yang stabil," ungkap dia. (Gdn/Ndw)