Sukses

Di Tengah Ketidakpastian Global, Ini Cara Sri Mulyani Kelola APBN

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mewaspadai faktor kondisi ekonomi dunia,

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mewaspadai faktor kondisi ekonomi dunia, termasuk dari Amerika Serikat (AS), Eropa, dan negara lainnya. Kondisi tersebut akan mempengaruhi postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta utang Indonesia.

"Kita akan tetap waspada," tegas Sri Mulyani saat ditemui usai rapat Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (14/2/2017).

Menurut Sri Mulyani, dalam mengelola APBN dan utang, pemerintah harus mengamati dinamika yang terjadi, baik pada kondisi perekonomian nasional maupun global.

"Karena itu pengaruhnya ke perubahan kurs, harga minyak, pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga. Dan ini akan terus menerus kita pantau, melihat dampaknya ke APBN, kemudian bagaimana angkanya akan berubah dari sisi penerimaan dan belanja negara," jelas dia.

Terpisah, Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Schneider Siahaan, mengatakan, pemerintah berupaya mengelola risiko utang di tengah kondisi dan situasi
ketidakpastian global. Termasuk rencana The Fed menaikkan tingkat bunga sebanyak tiga kali di tahun ini.

"Risiko yang dikelola terutama risiko financing, yakni bagaimana mencari dana untuk kebutuhan defisit APBN. Kita kelola dengan diversifikasi instrumen, tenor, dan basis investor," Schneider saat dihubungi Liputan6.com.

Sementara risiko ketidakpastian global, kata dia, dikelola pemerintah dengan rencana penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang terukur. "Lewat front loading dan masuk ke pasar USD, Euro, dan Yen," ucapnya.

Satu lagi risiko yang harus dikelola pemerintah, yakni risiko keberlanjutan atau suistainabilitas. Caranya menjaga defisit fiskal sesuai amanat Undang-undang (UU) Keuangan Negara. "Risiko suistainabilitas dikelola dengan menjaga defisit APBN tidak melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)," tandas Schneider.

Video Terkini