Liputan6.com, Jakarta PT Freeport Indonesia resmi mengubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari sebelumnya terdaftar sebagai pemegang Kontrak Karya. Dengan ‎perubahan skema IUPK, berarti kewajiban fiskal perusahaan tambang raksasa itu berubah kepada Indonesia.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Goro Ekanto mengungkapkan, Freeport harus tunduk pada ketentuan perpajakan yang sesuai dengan aturan perundang-undangan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Baca Juga
"Karena ketentuan dalam PP-nya harus ikut prevailing law (aturan yang berlaku saat ini), maka berlaku tarif yang ada di dalam UU sekarang," ucap Goro saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (16/2/2017).
Untuk diketahui, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 mengharuskan perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK) untuk mengubah status kontraknya menjadi IUPK. Dan pemegang IUPK harus mengikuti aturan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
Dalam pasal 128, pemegang IUP dan IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara, terdiri atas penerimaan pajak (bea masuk dan cukai) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), berupa iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, serta kompensasi data informasi.
Sedangkan pendapatan daerah yang dimaksud, meliputi pajak daerah, retribusi daerah, dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Dikenakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang berlaku 25 persen (flat), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekarang ini sebesar 10 persen, dan lainnya.
Kalau kemudian hari ada perubahan tarif (lebih rendah atau lebih tinggi), ya menyesuaikan," terang Goro.
Faktanya, Freeport menolak skema pajak prevailing atau berubah-ubah. Anak usaha Freeport McMoran ini meminta kewajiban membayar pajak bersifat naildown atau tetap sampai kontrak berakhir sesuai dengan isi KK sebelumnya.
Apabila mengikuti aturan yang ada, Freeport harus mengikuti aturan pajak yang berlaku. Jadi, pajak dan royalti yang dibayar Freeport dapat berubah-ubah sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.
"Freeport berpendapat perlu kepastian fiskal. Artinya agar ketentuan perpajakan tidak berubah-ubah seperti halnya yang diatur di KK karena dianggap tidak memberi kepastian," Goro menegaskan.
Kepala BKF, Suahasil Nazara pernah mengungkapkan, dengan status IUPK, pemerintah menurunkan PPh Badan dari 35 persen di KK menjadi 25 persen di IUPK. Walaupun PPh dikurangi, akan tetapi Freeport dikenakan kewajiban fiskal lainnya.  Â
"Perubahan pajaknya macam-macam, tidak simpel alias rumit. Dulu kan Freeport bayar PPh Badan 35 persen, yang baru ini jadi 25 persen. Lalu pajak dividen tadinya tidak ada, jadi ada. PPN berubah jadi 10 persen, dan sales tax tadinya 2,5 persen jadi 5 persen," terangnya.
Belum lagi pungutan tarif bea keluar yang harus dibayar berkisar 0 persen sampai 7,5 persen. Terdiri dari 4 layer sesuai kemajuan pembangunan fisik smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian). Kemudian kewajiban lainnya, seperti royalti dan sebagainya.
Bila Freeport dan pemegang IUPK lain mengikuti ketentuan perpajakan tersebut, Suahasil bilang, dampaknya akan positif terhadap penerimaan negara.Itu artinya, perubahan status IUPK dari KK tidak akan menggerus penerimaan.
Advertisement
Namun Suahasil tidak menyebut potensi kenaikan pendapatan negara dari kontribusi aturan pajak yang baru ini. Â
"Kalau dia (Freeport) mengikuti ketentuan yang berlaku, efeknya positif ke penerimaan negara. Sudah kita hitung tidak mengurangi penerimaan, malah ada penambahan sedikit kalau kita pakai data Freeport," tandas Suahasil. (Fik/Nrm)